Rabu, 18 Februari 2015

Analisis Book Chapter 2, 3, and 4 Buku Social Games For Children




Buku ini berjudul Social Skills for Children, karangan Deborah M. Plummer yang dicetak pertama kali di London, U.K dan Philadelphia, U.S. Buku yang tergolong tipis ini secara umum memberikan teori tentang pentingnya permainan dalam meningkatkan social skills siswa disertai dengan beragam permainan yang dapat dipraktikkan guru dalam lingkungan sekolah. Bagian yang dianalisis pada buku ini adalah bab  2 – bab 4. Bila dibandingkan dengan buku lain bertema  permainan terbitan Indonesia, buku ini memiliki kelebihan berupa teori  yang mendasari pentingnya permainan,  yang dijelaskan dalam beberapa bab. Pada bab selanjutnya baru dijelaskan masing-masing permainan tersebut dengan rinci.
Berikut analisis chapter bab 2 – bab 4.

Chapter 2
Understanding Social Skill

Plummer, D.M. (2008). Social Games for Children. Chapter 2-4. London : Jessica Kingsley Publishers.
           
Perkembangan sosial merupakan salah satu perkembangan penting yang dialami anak. Untuk bertahan hidup dan mengaktualisasikan diri, kemampuan anak untuk menjalin relasi yang baik dengan orang lain di sekitarnya mutlak dibutuhkan. Kemampuan itu disebut dengan istilah Social Skills. Social Skills Games for Children mengulas tentang alternatif lain pengembangan kemampuan sosial anak melalui permainan. Deborah Plummer mengawali tulisannya dengan membuat ilustrasi tentang relasi sosial beberapa orang anak yang tengah bermain. Dengan deskripsi ini, penulis ini membawa kita menyelami karakter dan kemampuan sosial masing-masing anak, bahkan alasan disebalik sikap anak yang terlihat, maupun kemungkinan-kemungkinan yang tersirat
Berbeda dengan buku-buku perkembangan sosial lainnya yang memfokuskan perkembangan sosial anak lebih kepada saat ia memasuki usia bermain, pada bab kedua ini, Plummer membawa kita memahami bahwa kemampuan sosial anak sesungguhnya berkembang sejak dini, jauh sejak masa bayi. Pada masa inilah sesungguhnya saat paling tepat untuk membangun pola interaksi awal yang baik dengan anak. Respon orang tua maupun pengasuh secara positif terhadap anak akan membantu proses perkembangan sosialnya sejak dini. Bermain dengan anak melalui kontak mata, perubahan mimik wajah, membantu mengaktifkan area pada otak anak (kemampuan kognitif) yang berhubungan dengan pengendalian emosi dan interaksi sosial. Pola pengasuhan yang baik akan membantu anak untuk membantu mengatur dan menenangkan dirinya sehingga tidak selalu harus bereaksi berlebihan di saat ia emosi.
Pada usia empat dan enam tahun anak belajar untuk mengikuti aturan sederhana dalam permainan. Di sini ia belajar permainan kooperatif. Sebagian dari anak mampu memahami perilaku yang diterima oleh rekan sebayanya, sebagian lagi mengalami kesulitan beradaptasi. Penilaian akan diterimanya diri anak dalam pergaulan terkadang menimbulkan citra negatif terhadap dirinya sendiri, maka timbullah kesalahpahaman dan rasa malu.
Masa transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah merupakan salah satu titik di mana anak mengalami kecemasan sosial dan timbulnya rasa canggung. Anak anak yang merasa dirinya tidak populer merasa bahwa pada masa ini adalah masa yang paling sulit dan membingungkan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kesulitan penyesuaian interaksi sosial pada masa kanak-kanak akan menimbulkan rasa stres dan depresi yang dapat berlangsung terus menerus. Plummer sepakat dengan Goleman yang menyatakan bahwa orang yang gagal dalam mengikuti aturan tak tertulis harmonisasi sosial “pasti meninggalkan gangguan di belakang mereka” Goleman  (dalam Plummer. 2008). Untuk itu penulis buku ini memandang pentingnya membantu anak-anak untuk membangun keterampilan sosial  memungkinkan mereka untuk mengembangkan keseimbangan antara pembentukan hubungan yang sehat dan otonomi pribadi mereka”. Membangun relasi sosial yang baik dengan teman-teman salah satunya dapat diwujudkan dalam bentuk  permainan kooperatif. Permainan ini diharapkan dapat  menampilkan perilaku yang tepat dan memberinya lebih banyak pilihan dan fleksibilitas dalam bagaimana dia memulai dan berpartisipasi dalam sebuah interaksi yang harmonis dan baik di tengah lingkungan sosialnya dalam hidup bermasyarakat.

Chapter 3
Why use games to support social skills?

Pada bab ini Deborah Plummer mengemukakan berbagai alasan pentingnya mengadopsi permainan dalam pembelajaran untuk membantu perkembangan sosial anak. Dengan mengutip hasil penelitian dan pernyataan para ahli, Plummer berusaha meyakinkan pembacanya tentang betapa pentingnya penggunaan permainan dalam pengembangan kemampuan bersosialisasi anak-anak.
 Alasan utama, Plummer menggunakan permainan untuk meningkatkan kemampuan sosial anak karena ia meyakini bahwa permainan adalah hal yang serius. Efektif atau tidaknya permainan tergantung pada orang yang memfasilitasi permainan tersebut dan pemahamannya akan pentingnya proses permainan dan keberhasilan pelaksanaannya.
Bagi sebagian anak permainan merupakan penyemangat dan sumber kesenangan yang sangat menarik, tapi pada sisi lain permainan merupakan sisksaan bagi anak-anak yang pendiam. Mereka mengalami kesulitan memahami aturan dalam permainan, frustasi, dan cemas akan merasa diabaikan. Dari segi ini permainan dapat memicu perasaan rendah diri bahkan memicu respon emosi yang tidak tepat pada anak. Untuk itu fasilitator (dalam hal ini adalah guru) harus berupaya meminimalisirnya. Sebaliknya, permainan yang dipilih dengan baik oleh fasilitator justru menjadi alat yang efektif untuk membantu anak mentolerir rasa frustasinya dan menumbuhkan kemauan bekerjasama dengan teman-temannya..
Alasan kedua, belajar sambil bermain merupakan bagian alami dari proses perkembangan anak. Hurlock, E. B, ( 2011) dalam bukunya menjelaskan bahwa pada masa kanak-kanak, bermain sangat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan sosial. Melalui permainan anak bisa belajar tetang dirinya dan dunia di sekitarnya, meniru mengeksplorasi, dan membangun, Sutton Smith (dalam Hurlock (2011). Pemainan mengakomodasi cara yang menyenangkan untuk belajar hal yang serius dan keterampilan hidup. Beberapa permainan memberikan kesempatan pada anak melakukan proses imitasi, untuk mencoba sesuatu yang berbeda tanpa takut salah dan dihakimi orang lain. Dari penjelasan Plummer ini dapat dilihat bahwa permainan membantu komunikasi mereka dalam perkembangan bahasa. Efek lain dari permainan adalah meningkatnya selera humor sehingga membantu mereka membangun relasi yang menyenangkan yang berlanjut dengan timbulnya rasa kesadaran sosial.
Alasan ketiga, permainan jelas strukturnya dan mudah diprediksi. Jelasnya titik awal dan akhir, serta urutan dari permainan, memudahkan repetisi di waktu lain menjadikan kegiatan permainan terasa menyenangkan. Penulis menjelaskan temuan Roberts dan Smith tentang hubungan antara berbagai jenis strategi, keterampilan dari permainan yang digunakan dengan jenis karakter seperti rasa tanggung jawab, prestasi, dan patuh pada aturan. Cara untuk menanamkan rasa taat aturan dapat dilakukan dengan melibatkan mereka dalam pembuatan aturan, sehingga anak belajar bahwa mereka memiliki pilihan dan orang lain mau mendengarkan ide-ide mereka.
Alasan keempat, Permainan mencerminkan aspek kehidupan yang nyata. Cara anak merespon permainan memperlihatkan kecendrungan sifat alamiah mereka.  Bagaimana mereka mengenali pribadi temannya, independen atau justru sebaliknya. Sebagai fasilitator tugas guru merancang partisipasi siswa dalam permainan. Pemahaman akan proses perubahan dan pertumbuhan siswa, bahwa setiap individu itu unik dan berbeda kemampuanya adalah bagian dari apa artinya menjadi manusia.
Alasan kelima, permainan memberi kesempatan berharga dalam berbagai area perkembangan pribadi dan sosial. Penulis meyakinkan pembaca bahwa permainan tidak hanya menjadi sarana penyelesaian masalah, melainkan juga bisa dijadikan pencegah masalah di masa depan. Realitasnya menurut penulis buku ini, dengan latihan secara terus menerus maka anak akan memiliki kemampuan sosial yang baik.

Chapter 4
Structuring the emotional environment

Plummer berpijak pada pendapat Carl Rogers (1961) yang mencetuskan teori “person-centered” yang menjelaskan bahwa setiap individu secara alami akan mencapai potensinya secara penuh dengan suasana yang mendukung ke arah itu. Ia berhipotesis, dengan keharmonisan, penerimaan, dan empati akan membangun hubungan yang membantu seseorang memahami dirinya sendiri dan orang lain. Pada akhirnya ia akan mampu mengatasi masalah hidupnya dengan baik dan tenang. Dalam istilah praktis para guru (fasilitator), guru hendaknya mempertimbangkan dengan baik hal-hal seperti 1) peran, aturan, dan batasan, 2) memahami danmenghargai emosi, 3) memberikan pujian, 4) melakukan refleksi diri.
Pada bab ke-empat ini penulis banyak memfokuskan tulisaannya pada pengaturan peranan, baik guru maaupun siswa. Menurutnya, pengaturan tentang peranan, aturan, dan batasan perlu dijelaskan secara gamblang sehingga anak-anak merasa nyaman. Fasilitator harus bisa menunjukkan pendekatan yang tegas dan adil untuk mencegah timbulnya efek negatif dari permainan. Selain itu hendaknya fasilitator juga mampu meyakinkan semua anggota kelompok tentang pentingnya mendukung partisipasi semua anggota. Di sini dibutuhkan pemahaman guru tentang perbedaan kebiasaan sosial, kepercayaan anggota kelompok, dan menjembatani perbedaan itu di tengah kelompok.
Peranan guru bisa sebagai contoh, penyedia tantangan, dll. Sedangkan siswa yang telah memahami permainan juga dapat mengambil peranan sebagai koordinator (pemimpin) di bawah pengawasan guru. Sedangkan siswa yang merasa tidak mampu mengikuti permainan dapat menikmati waktunya sebagai pencatat waktu atau observer. Sehingga setiap siswa memiliki peranannya masing2x.
Kekurangan buku yang agak terasa pada bab ini adalah penjelasan tentang peranan yang terasa kurang sistematis urutannya, seperti hal-hal yang harus diperhatikan dalam membuat aturan diletakkan setelah penjelasannya, padahal sebagian hal itu sudah dijelaskan dalam uraian sebelumnya.. Hal ini terasa cukup mengganggu.
Terakhir penulis menjelaskan tentang pentingnya memberkan sinyal non verbal, seperti acungan jempol, senyum, dan kedipan mata, atau pujian deskriptif yang memotivasi. Secara keseluruhan buku ini sudah cukup bagus dibanding buku games buat anak-anak terbitan Indonesia seperti Edu Games for Childs karangan Farida Nur’aini, dan 99 Games Anak & Remaja Muslim yang ditulis Sya’ban Jamil. Kedua buku terbitan lokal ini terlalu fokus pada permainan tanpa menjelaskan teori yang mendaasari permainan tersebut. Kelebihan kedua buku lokal ini adalah pada materi permainan yaang telah diadatasikan dengan kondisi sosio kultural Indonesia.

Referensi:

Hurlock E. B. (2011). Perkembangan Anak. Jilid 1 Jakarta : Erlangga
Jamil, Sya’ban. (2010). 99 Gamess Anak & Remaja Muslim. Jakarta : Republika.
Nur’ani, Farida. (2008). Edu Games for Childs; Panduan Permainan Alami yang Mencerdaskan Anak. Solo:Indikasi Media Kreasi
Plummer, D.M. (2008). Social Games for Children. Chapter 2-4. London : Jessica Kingsley Publishers
Santrock, J. W (2012). Life Span Development. (Ed. Indonesia). Jakarta : Erlangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Salah dengan Sistem Pendidikan Kita?

Pertanyaan ini selalu hadir dari waktu ke waktu. Dari satu rezim ke rezim yang lain. Dari satu kurikulum kepada kurikulum yang baru. Pertany...