Buku
ini berjudul Social Skills for Children, karangan Deborah M. Plummer yang
dicetak pertama kali di London, U.K dan Philadelphia, U.S. Buku yang tergolong
tipis ini secara umum memberikan teori tentang pentingnya permainan dalam
meningkatkan social skills siswa
disertai dengan beragam permainan yang dapat dipraktikkan guru dalam lingkungan
sekolah. Bagian yang dianalisis pada buku ini adalah bab 2 – bab 4. Bila dibandingkan dengan buku lain
bertema permainan terbitan Indonesia,
buku ini memiliki kelebihan berupa teori
yang mendasari pentingnya permainan,
yang dijelaskan dalam beberapa bab. Pada bab selanjutnya baru dijelaskan
masing-masing permainan tersebut dengan rinci.
Berikut
analisis chapter bab 2 – bab 4.
Chapter 2
Understanding
Social Skill
Plummer, D.M. (2008). Social Games for Children. Chapter 2-4. London : Jessica Kingsley
Publishers.
Perkembangan
sosial merupakan salah satu perkembangan penting yang dialami anak. Untuk
bertahan hidup dan mengaktualisasikan diri, kemampuan anak untuk menjalin
relasi yang baik dengan orang lain di sekitarnya mutlak dibutuhkan. Kemampuan
itu disebut dengan istilah Social Skills.
Social Skills Games for Children
mengulas tentang alternatif lain pengembangan kemampuan sosial anak melalui
permainan. Deborah Plummer mengawali tulisannya dengan membuat ilustrasi
tentang relasi sosial beberapa orang anak yang tengah bermain. Dengan deskripsi
ini, penulis ini membawa kita menyelami karakter dan kemampuan sosial
masing-masing anak, bahkan alasan disebalik sikap anak yang terlihat, maupun
kemungkinan-kemungkinan yang tersirat
Berbeda
dengan buku-buku perkembangan sosial lainnya yang memfokuskan perkembangan
sosial anak lebih kepada saat ia memasuki usia bermain, pada bab kedua ini,
Plummer membawa kita memahami bahwa kemampuan sosial anak sesungguhnya
berkembang sejak dini, jauh sejak masa bayi. Pada masa inilah sesungguhnya saat
paling tepat untuk membangun pola interaksi awal yang baik dengan anak. Respon
orang tua maupun pengasuh secara positif terhadap anak akan membantu proses
perkembangan sosialnya sejak dini. Bermain dengan anak melalui kontak mata,
perubahan mimik wajah, membantu mengaktifkan area pada otak anak (kemampuan
kognitif) yang berhubungan dengan pengendalian emosi dan interaksi sosial. Pola
pengasuhan yang baik akan membantu anak untuk membantu mengatur dan menenangkan
dirinya sehingga tidak selalu harus bereaksi berlebihan di saat ia emosi.
Pada
usia empat dan enam tahun anak belajar untuk mengikuti aturan sederhana dalam
permainan. Di sini ia belajar permainan kooperatif. Sebagian dari anak mampu
memahami perilaku yang diterima oleh rekan sebayanya, sebagian lagi mengalami
kesulitan beradaptasi. Penilaian akan diterimanya diri anak dalam pergaulan
terkadang menimbulkan citra negatif terhadap dirinya sendiri, maka timbullah
kesalahpahaman dan rasa malu.
Masa
transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah merupakan salah satu titik di
mana anak mengalami kecemasan sosial dan timbulnya rasa canggung. Anak anak
yang merasa dirinya tidak populer merasa bahwa pada masa ini adalah masa yang
paling sulit dan membingungkan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kesulitan
penyesuaian interaksi sosial pada masa kanak-kanak akan menimbulkan rasa stres
dan depresi yang dapat berlangsung terus menerus. Plummer sepakat dengan
Goleman yang menyatakan bahwa orang yang gagal dalam mengikuti aturan tak tertulis
harmonisasi sosial “pasti meninggalkan gangguan di belakang mereka”
Goleman (dalam Plummer. 2008). Untuk itu
penulis buku ini memandang pentingnya membantu anak-anak untuk membangun
keterampilan sosial memungkinkan mereka
untuk mengembangkan keseimbangan antara pembentukan hubungan yang sehat dan
otonomi pribadi mereka”. Membangun relasi sosial yang baik dengan teman-teman
salah satunya dapat diwujudkan dalam bentuk
permainan kooperatif. Permainan ini diharapkan dapat menampilkan perilaku yang tepat dan
memberinya lebih banyak pilihan dan fleksibilitas dalam bagaimana dia memulai
dan berpartisipasi dalam sebuah interaksi yang harmonis dan baik di tengah lingkungan
sosialnya dalam hidup bermasyarakat.
Chapter 3
Why
use games to support social skills?
Pada
bab ini Deborah Plummer mengemukakan berbagai alasan pentingnya mengadopsi
permainan dalam pembelajaran untuk membantu perkembangan sosial anak. Dengan
mengutip hasil penelitian dan pernyataan para ahli, Plummer berusaha meyakinkan
pembacanya tentang betapa pentingnya penggunaan permainan dalam pengembangan
kemampuan bersosialisasi anak-anak.
Alasan
utama, Plummer menggunakan permainan untuk meningkatkan kemampuan sosial
anak karena ia meyakini bahwa permainan adalah hal yang serius. Efektif atau
tidaknya permainan tergantung pada orang yang memfasilitasi permainan tersebut
dan pemahamannya akan pentingnya proses permainan dan keberhasilan
pelaksanaannya.
Bagi
sebagian anak permainan merupakan penyemangat dan sumber kesenangan yang sangat
menarik, tapi pada sisi lain permainan merupakan sisksaan bagi anak-anak yang
pendiam. Mereka mengalami kesulitan memahami aturan dalam permainan, frustasi,
dan cemas akan merasa diabaikan. Dari segi ini permainan dapat memicu perasaan
rendah diri bahkan memicu respon emosi yang tidak tepat pada anak. Untuk itu fasilitator
(dalam hal ini adalah guru) harus berupaya meminimalisirnya. Sebaliknya,
permainan yang dipilih dengan baik oleh fasilitator justru menjadi alat yang
efektif untuk membantu anak mentolerir rasa frustasinya dan menumbuhkan kemauan
bekerjasama dengan teman-temannya..
Alasan kedua,
belajar sambil bermain merupakan bagian alami dari proses perkembangan anak. Hurlock,
E. B, ( 2011) dalam bukunya menjelaskan bahwa pada masa kanak-kanak, bermain
sangat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan sosial. Melalui permainan anak bisa
belajar tetang dirinya dan dunia di sekitarnya, meniru mengeksplorasi, dan
membangun, Sutton Smith (dalam Hurlock (2011). Pemainan mengakomodasi cara yang
menyenangkan untuk belajar hal yang serius dan keterampilan hidup. Beberapa permainan
memberikan kesempatan pada anak melakukan proses imitasi, untuk mencoba sesuatu
yang berbeda tanpa takut salah dan dihakimi orang lain. Dari penjelasan Plummer
ini dapat dilihat bahwa permainan membantu komunikasi mereka dalam perkembangan
bahasa. Efek lain dari permainan adalah meningkatnya selera humor sehingga
membantu mereka membangun relasi yang menyenangkan yang berlanjut dengan
timbulnya rasa kesadaran sosial.
Alasan ketiga,
permainan jelas strukturnya dan mudah diprediksi. Jelasnya titik awal dan akhir,
serta urutan dari permainan, memudahkan repetisi di waktu lain menjadikan
kegiatan permainan terasa menyenangkan. Penulis menjelaskan temuan Roberts dan
Smith tentang hubungan antara berbagai jenis strategi, keterampilan dari
permainan yang digunakan dengan jenis karakter seperti rasa tanggung jawab,
prestasi, dan patuh pada aturan. Cara untuk menanamkan rasa taat aturan dapat
dilakukan dengan melibatkan mereka dalam pembuatan aturan, sehingga anak belajar
bahwa mereka memiliki pilihan dan orang lain mau mendengarkan ide-ide mereka.
Alasan keempat,
Permainan mencerminkan aspek kehidupan yang nyata. Cara anak merespon permainan
memperlihatkan kecendrungan sifat alamiah mereka. Bagaimana mereka mengenali pribadi temannya,
independen atau justru sebaliknya. Sebagai fasilitator tugas guru merancang
partisipasi siswa dalam permainan. Pemahaman akan proses perubahan dan
pertumbuhan siswa, bahwa setiap individu itu unik dan berbeda kemampuanya
adalah bagian dari apa artinya menjadi manusia.
Alasan kelima,
permainan memberi kesempatan berharga dalam berbagai area perkembangan pribadi
dan sosial. Penulis meyakinkan pembaca bahwa permainan tidak hanya menjadi
sarana penyelesaian masalah, melainkan juga bisa dijadikan pencegah masalah di
masa depan. Realitasnya menurut penulis buku ini, dengan latihan secara terus
menerus maka anak akan memiliki kemampuan sosial yang baik.
Chapter 4
Structuring
the emotional environment
Plummer
berpijak pada pendapat Carl Rogers (1961) yang mencetuskan teori
“person-centered” yang menjelaskan bahwa setiap individu secara alami akan
mencapai potensinya secara penuh dengan suasana yang mendukung ke arah itu. Ia
berhipotesis, dengan keharmonisan, penerimaan, dan empati akan membangun hubungan
yang membantu seseorang memahami dirinya sendiri dan orang lain. Pada akhirnya
ia akan mampu mengatasi masalah hidupnya dengan baik dan tenang. Dalam istilah
praktis para guru (fasilitator), guru hendaknya mempertimbangkan dengan baik
hal-hal seperti 1) peran, aturan, dan batasan, 2) memahami danmenghargai emosi,
3) memberikan pujian, 4) melakukan refleksi diri.
Pada
bab ke-empat ini penulis banyak memfokuskan tulisaannya pada pengaturan
peranan, baik guru maaupun siswa. Menurutnya, pengaturan tentang peranan,
aturan, dan batasan perlu dijelaskan secara gamblang sehingga anak-anak merasa
nyaman. Fasilitator harus bisa menunjukkan pendekatan yang tegas dan adil untuk
mencegah timbulnya efek negatif dari permainan. Selain itu hendaknya
fasilitator juga mampu meyakinkan semua anggota kelompok tentang pentingnya
mendukung partisipasi semua anggota. Di sini dibutuhkan pemahaman guru tentang
perbedaan kebiasaan sosial, kepercayaan anggota kelompok, dan menjembatani
perbedaan itu di tengah kelompok.
Peranan
guru bisa sebagai contoh, penyedia tantangan, dll. Sedangkan siswa yang telah
memahami permainan juga dapat mengambil peranan sebagai koordinator (pemimpin)
di bawah pengawasan guru. Sedangkan siswa yang merasa tidak mampu mengikuti
permainan dapat menikmati waktunya sebagai pencatat waktu atau observer.
Sehingga setiap siswa memiliki peranannya masing2x.
Kekurangan
buku yang agak terasa pada bab ini adalah penjelasan tentang peranan yang
terasa kurang sistematis urutannya, seperti hal-hal yang harus diperhatikan
dalam membuat aturan diletakkan setelah penjelasannya, padahal sebagian hal itu
sudah dijelaskan dalam uraian sebelumnya.. Hal ini terasa cukup mengganggu.
Terakhir
penulis menjelaskan tentang pentingnya memberkan sinyal non verbal, seperti
acungan jempol, senyum, dan kedipan mata, atau pujian deskriptif yang
memotivasi. Secara keseluruhan buku ini sudah cukup bagus dibanding buku games
buat anak-anak terbitan Indonesia seperti Edu
Games for Childs karangan Farida Nur’aini, dan 99 Games Anak & Remaja
Muslim yang ditulis Sya’ban Jamil. Kedua buku terbitan lokal ini terlalu fokus
pada permainan tanpa menjelaskan teori yang mendaasari permainan tersebut.
Kelebihan kedua buku lokal ini adalah pada materi permainan yaang telah
diadatasikan dengan kondisi sosio kultural Indonesia.
Referensi:
Hurlock
E. B. (2011). Perkembangan Anak. Jilid 1 Jakarta : Erlangga
Jamil,
Sya’ban. (2010). 99 Gamess Anak & Remaja Muslim. Jakarta : Republika.
Nur’ani, Farida. (2008). Edu Games for Childs;
Panduan Permainan Alami yang Mencerdaskan Anak. Solo:Indikasi Media Kreasi
Plummer, D.M. (2008). Social Games for Children. Chapter 2-4.
London : Jessica Kingsley Publishers
Santrock,
J. W (2012). Life Span Development. (Ed. Indonesia). Jakarta : Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar