Sabtu, 11 November 2023

Naik Haji Tanpa Daftar Tunggu

 

 

Menunaikan rukun Islam kelima merupakan impian pribadi setiap muslim. Siapa sih yang tidak mau menunaikan haji menuju Allah, meneladani Ibrahim dan keluarga istimewanya yang telah mewariskan teguhnya keimanan baik melalui Ismail maupun Ishak yang telah menelurkan 3 agama samawi di dunia ini. 

Melaksanakan haji juga sekaligus mengenang kisah agung Rasulullah SAW dalam Sirah Nabawi yang dengan gamblang menjelaskan bahwa rasulullah saja yang Native penduduk Makkah harus berjuang melaksanakan haji dari Madinah (bahkan dihalang-halangi oleh kaum Non Muslim Makkah waktu itu dengan berbagai cara). Maka, ibadah haji kita belumlah apa-apa perjuangannya bila dibandingkan dengan kisah hajinya beliau di saat tersebut. 

Sejujurnya saya tidak pernah bermimpi bisa melaksanakan ibadah haji dalam usia yang masih terhitung muda ini. Masih 40 tahun. Dahulu saat di pesantren ketika membahas Fiqh ibadah haji saya tidak terlalu antusias menghafal detail maupun hikmahnya (akhirnya menyesal sendiri saat harus belajar ekstra saat waktunya sendiri tiba). Saat mengganti pilihan dari KL ke Jeddah ketika mengikuti seleksi guru SILN ini, salah satu motivasi saya adalah untuk mewujudkan impian keluarga kecil saya bisa sholat, haji, dan umroh bersama di Mekkah Almukaromah, di Masjidil Haram. Alhamdulillah Allah memudahkan jalannya.

Saat itu saya baru saja mendatangkan istri dan anak saya dari Indonesia ke Saudi. Terbayang saja rumitnya istri harus mengurus CLTN di instansi tempatnya bekerja, mengurus visa dan biaya ongkos transportasi yang tidak sedikit. Namun karena kemudahan dari Allah, alhamdulilllah semua berjalan dengan lancar. Harapan kami sehat selalu hendaknya kami berempat dan keluarga besar yang ditinggalkan di kampung agar impian kami bisa terwujud hendaknya. Ammiin. 

Saat situasi seperti itulah salah satu rekan sejawat saya, yang sudah lebih dulu mengabdi di SIJ ini secara langsung bertanya; "bapak sudah daftar hajikah?". Saya menjawab belum, dan menjelaskan situasi saya saat itu. "Ya sudah, saya daftarkan saja pak. Sekalian sama istrinya ya?" Seketika itu saya merasa speechless dan air mata saya menggenang.

''Kamu serius"", kataku tidak percaya. Hari itu juga temanku yang masih muda itu mendaftarkan namaku di website localhajj/Nusuk yang memang khusus untuk pendaftaran warga Saudi dan ekspatriat (yang memiliki izin tinggal/iqamah). Istriku saat itu menunda pendaftarannya disebabkan iqamahnya masih dalam pengurusan selain itu juga mempertimbangkan kedua anak kami yang masih berusia di bawah 12 tahun sehingga tidak bisa juga didaftarkan. Jadi harus ada salah satu yang menunggui anak kami. Temanku menawari agar anak kami dititipkan saja dengan beliau namun istri saya tetap teguh dengan pendiriannya. Dia memilih mendaftar tahun depan.

Maka kemudian kami memilih syarikah (perusahaan/travel) yang bagus fasilitasnya, dan dekat dari stasiun kereta di Mina. Karena dari pengalaman beliau jarak perjalanan dari Camp di Mina ke stasiun kereta sangat penting mengingat panjangnya perjalanan maupun antrian kala melontar jumrah nantinya. Akhirnya kami memilih syarikah Hisyam Badawi Skaik Company yang jaraknya dari stasiun sangat dekat sekali kemahnya. Kami memilih paket 9300 SAR yang dilengkapi dengan fasilitas sangat memadai di tenda/camp di Mina dan Arafah. 

Setelah mendaftar di bulan Januari tersebut, saya kembali disibukkan dengan aktivitas mengajar. Hingga akhirnya datanglah bulan Ramadhan, dan kami menerima sms dari Ministry of Hajj bahwa kami wajib mendapatkan vaksin Flu dan Meningitis sebagai syarat mengikuti ibadah haji tahun ini. Dengan berbekal bertanya kepada guru lain yang telah pernah hajian, kami kemudian disibukkan berburu tempat vaksin gratis di fasilitas Health center (semacam puskesmas di Indonesia), tapi semuanya tutup dan kehabisan vaksin. RS. King Abdul Aziz pun bahkan kami datangi.

Santai dulu di lobby RSKAI

Setelah diberitahu bahwa pelayanan kemungkinan akan dibuka setelah libur lebaran kami berempat pun pulang kembali. Setelah lebaran baru kami mendapat tempat faskes yang ternyata dekat sekali dengan sekolah. Hanya beda satu jalur jalan. Alhamdulillah semua vaksin tersedia dan kami langsung didaftarkan hasilnya secara online oleh petugas mereka yang ternyata sebagian besar sangat ramah.

Menjelang bulan haji kami bersabar menunggu sms maupun pemberitahuan grup wa. Ketar-ketir. Ada yang cepat dihubungi ada yang menyusul (karena beda-beda syarikah/travel hajinya). Akhirnya kami berempat memutuskan sehari sebelum hari H harus mengunjungi kantor syarikah/meeting point dulu agar tidak tersesat nantinya. Saya sebelumnya setelah melalui banyak sms dan wa chat yang rumit (ternyata petugasnya tidak bisa berbahasa Inggris), akhirnya bersama anak dan istri mengunjungi syarikah dan menjemput semua perlengkapan yang disediakan. Ada travel bag, payung, sajadah lipat, kipas, Alquran, peralatan mandi, tasbih digital, dll.

Grup-grup wa pun bermunculan seperti cendawan di musim hujan. Ada grup umum yang isinya berbahasa Urdu semua (Pakistan). Ada grup berbahasa Arab (warga native lokal Saudi) dan ada grup berbahasa Inggris yang didominasi orang India, Pakistan, Bangladesh dan minoritas dari Filipina dan Indonesia. Akhirnya saya merasakan apa yng dirasakan oleh siswa saya di kelas yang mengalami language barrier (kendala bahasa). Ketemu orang Asean yang berbahasa Melayu seakan seperti ketiban durian.

Tidak ada manasik haji seperti di Indonesia yang kurikulumnya hebat luar biasa itu, yang ada pertemuan google meeting yang lebih ke membahas masalah fiqh dan alur serta tata cara haji yang disediakan dalam berbagai bahasa. Para jemaah diminta memilih 3 jenis haji yang diinginkan; tamattu', qiran, atau haji 

Akhirnya bulan Zulhijjah pun tiba. Setelah berdiskusi melalui zoom/dunia maya, kami diarahkan uituk berkumpul di sebuah hotel di area dekat Laut Merah tepatnya di Hotel Sukoon. Kami dibagikan atribut, dibagi ke dalam beberapa rombongan untuk menaiki bus menuju Makkah. Ada 3 orang Indonesia sesama calon haji  yang bertemu dengan saya di Syarikah ini. Seorang mas-mas dari Jawa yang diam di Jeddah, seorang Jakartan, teknisi IT dari Riyadh. Meski tidak satu bus ataupun satu tenda, kami tetap bisa bersua, bertukar informasi, dan kadang-kadang bercanda. Meluapkan harapan dan kebingungan karena kendala Bahasa di tenda masing-masing. Saya yang hanya bisa dasar Bahasa Arab Fusha dan Bahasa Ingerís, sementara si mas hanya bisa Bahasa Arab Amiyah. Kami juga berjumpa saudara Muslim Moro dari Philiphina. Jadi tahu juga kemajuan daerah tersebut saat ini.

Kenangan di Arafah

Melalui setiap tahapan dari prosesi haji dengan penuh semangat. Mengaji di tenda, sesekali menghubungi keluarga untuk berkabar, dan antri untuk setiap kegiatan basic (makan, kamar mandi, naik kereta). 

Antrian makan

Di Hari Arafah, meskipun ada himbauan dari kementerian agar kami stay di tenda, pembimbing kami yang orang Pakistan tetap membawa kami berdoa di luar tenda agar lebih puas. Di sini saya melihat keajaiban di depan mata. Saat sedang berdoa, jamaah Pakistan yang berdoa dengan Bahasa Urdu bercapur Arab tiba-tiba dihampiri saudaranya yang dari India, lalu mereka berdoa bersama sambil menangis. Tidak ada batas negara dan perasaan saling anti yang biasanya mereka tunjukkan di dunia maya. Saya yang sama sekali tidak mengerti kosakata Hindi/Urdu hanya bisa mengaminkan kalau mereka melafalkan doa dalam Bahasa Arab.

Nah, karena mereka cukup fluent Bahasa Inggrisnya saya terpaksa mengekori orang Pakistan ini kalau teman Indonesia saya di grup lain. Alhamdulillah semua prosesi berjalan lancar, yang paling berkesan selain Arafah adalah saat bermalam di Muzdalifah. Langit malam itu indah sekali.

Bermalam di Muzdaleefah

Seluruh kemewahan pelayanan berhaji tersebut berbanding terbalik dengan situasi jemaah haji Indonesia di luar sana. Kami bertiga, berempat dengan seorang mahasiswa Indonesia yang sedang studi di UIM (Universitas Islam Madinah), saling wanti-wanti agar tidak mengunggah makanan lezat yang kami nikmati untuk menjaga perasaan saudara kami di luar sana. 

Akhirnya setelah melewati seluruh rangkaian prosesi ibadah haji, kami malaksanakan Thawaf Wada' untuk selanjutnya kembali ke Mekkah. Karena seluruh jamaah haji berduyun-duyun melaksanakannya dan menuju Mekkah maka kemacetan panjang menjadi penutup aktivitas kami malam itu, baik sebelum ataupun setelah thawaf. 
Ambik gambar selepas thawaf wada'


Di malam Hari kelima tersebut, sampailah kami di Jeddah di Hotel Sukoon untuk kembali menuju rumah masing-masing. Sebuah pengalaman spiritual yang sangat berkesan. 








 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Salah dengan Sistem Pendidikan Kita?

Pertanyaan ini selalu hadir dari waktu ke waktu. Dari satu rezim ke rezim yang lain. Dari satu kurikulum kepada kurikulum yang baru. Pertany...