Selasa, 29 Agustus 2023

Pentingnya Pendidikan Seks bagi anak di Usia Sekolah Dasar





Bagaimana cara menjelaskan apa itu mimpi basah kepada anak lelaki anda?
Bagaimana cara menyiapkan putri anda menghadapi menstruasi pertamanya?
Seperti apa reaksi anda saat memeriksa gawai anak anda yang history penelusuran mesin perambahnya ternyata penuh dengan situs-situs bokep?
Bagaimana anda menjelaskan konsep bahwa mengagumi, mencintai, dan pacaran merupakan sesuatu yang berbeda?


Pertanyaan-pertanyaan ini sering dihadapi orang tua maupun pendidik saat anaknya memasuki usia sekolah/remaja. Namun bagaimana jika anak yang terpapar konten dewasa tersebut masih kelas rendah di Sekolah Dasar? Dan bukan hanya satu atau dua anak? Apa yang harus dilakukan guru dan orang tua?
Realita itulah yang dihadapi sebagian orang tua dan guru  di Indonesia sejak sekolah online berlaku 2019 lalu hingga sekarang. Namun tidak banyak yang berani speak-up membahas masalah ini maupun solusinya karena dianggap sesuatu yang tabu.

Pandemi Covid-19 merubah pola didik anak/siswa yang tadinya dijauhkan dari gawai menjadi akrab dengan gawai setiap harinya. Mereka belajar dan mengerjakan tugas menggunakan gawai, mulai dari anak/siswa di kota sampai di desa. Ketidaksiapan orang tua dan guru mengontrol penggunaan gawai oleh anak/siswa tersebutlah yang menjadi penyebab mudahnya anak/siswa terpapar konten dewasa. Sehingga tidak dapat tidak, kampanye pentingnya Pendidikan seks di usia SD perlu dilakukan untuk mencegah kesalahpahaman anak/siswa dalam memahami diri dan lingkungannya.

Lumrahnya materi reproduksi baru diajarkan di kelas enam, saat siswa memasuki usia pra remaja. Siswa sudah mulai berhadapan dengan masalah perubahan hormon yang menyebabkan perubahan fisik dan emosi, bau keringat, jerawat, serta ketertarikan kepada lawan jenis. Di sini peranan guru dan orang tua penting agar siswa tidak mengalami kesalahan informasi dan persepsi dalam memahami dirinya. Memasukkan norma agama, adat, dan budaya juga sangat tepat agar siswa semakin paham peranannya dalam masyarakat.

Anak lelaki misalnya, secara fisik mereka mengalami perubahan mulai dari tubuh yang semakin berkembang maupun perubahan suara. Orang tua dan guru dapat memberi pemahaman bahwa hal tersebut normal dan justru menandakan bahwa mereka sehat secara fisik. Pengalaman mimpi basah menjadi tanda bahwa mereka sudah siap secara seksual menuju tahap lelaki dewasa, namun secara mental mereka harus banyak belajar dalam hidup. Soal tanggung jawab, mulai dari menjaga kebersihan diri dan pakaian (mencuci sendiri pakaian dalam) mereka, menjaga aurat dan rasa malu mereka di hadapan orang lain.

Untuk anak perempuan pun begitu. Penting sekali bagi orang tua dan guru menjelaskan bahwa perubahan fisik mereka bukanlah keanehan namun menunjukkan bahwa mereka sehat dan menuju kematangan diri. Memahami bahwa secara periode mereka akan mengalami haid, dan siap mengalami pengalaman haid pertamanya sehingga ia tidak menjadi pengalaman yang tidak nyaman. Anak/siswa perempuan hendaknya menyiapkan satu set pembalut kecil untuk disimpan di dalam tasnya, menjaga bila saat itu tiba dia tinggal bergegas ke kamar kecil sehingga dia tetap nyaman beraktivitas baik di rumah, sekolah, maupun di luar ruangan. Memakai deodoran dan parfum agar bau keringat tidak membuatnya malu saat bergaul, dan menjaga kebersihan diri maupun fisiknya. Selain itu masa ini juga menjadi masa terbaik bagi orang tua dan guru menjelaskan bagaimana anak/siswa harus menjaga aurat dan pergaulannya baik di lingkungan keluarga maupun di masyarakat. Mengajarkan siswa bertanggung jawab atas kebersihan diri maupun memakai rasa malu saat bergaul di tengah masyarakat (pernahkah anda atau petugas kebersihan menemukan bekas pembalut yang dibuang begitu saja di WC sampai membuatnya kotor bahkan tersumbat misalnya? Atau menemukan benda tersebut dibuang di sudut kamar begitu saja dan dibiarkan berhari-hari?). 

Memahami remaja dan menjadi temannya merupakan tugas orang tua dan guru agar mereka tidak gagap menghadapi masa-masa perubahan tersebut.
Tapi bagaimana dengan anak/siswa usia kelas rendah (kelas 2 atau 3) yang sudah terpapar konten dewasa? Cara orang tua/guru menjelaskan konsep-konsep tersebut tentu tidak sama dengan siswa yang sudah duduk di kelas tinggi atau usia pra remaja dimana mereka sudah mulai bisa memahami konsep yang semi konkret maupun abstrak. Di sinilah pentingnya peranan orang tua dan guru menjelaskan menggunakan bahasa sederhana anak seusia tsb bahwa aktivitas seksual bukanlah aktivitas anak-anak seusia mereka. Menggunakan terma, 
“abang sudah siap ya jadi papa? Sudah bisa kerja cari duit, memberi belanja keluarga?”. 
“dedek sudah siap ya jadi mama? Sudah siap punya anak?”
Dihadapkan pertanyaan tersebut anak/siswa yang terpapar konten tersebut biasanya tergeragap dan cepat-cepat menjawab tidak pak, belum bu. Lalu menunduk. 

Orang tua/guru diharapkan bisa memberikan pemahaman pentingnya menjaga aurat dan malu pada anak/siswa di depan orang lain dan Tuhan. Nilai-nilai budaya dan agama yang sekarang justru sudah semakin ditinggalkan. Tentunya menyesuaikan dengan kosakata dan pemahaman mereka. Pentingnya kontrol kebiasaan menggunakan gawai oleh orang tua dan guru serta komunikasi efektif dan terbuka antara anak/siswa dengan orang tua dan guru sangat menentukan apakah anak/siswa dapat melalui proses tersebut. Karena anak-anak usia dini yang terpapar konten dewasa/pornografi cenderung bermasalah secara intelektual, emosi, dan kepercayaan dirinya ke depannya. 

Semoga kita bisa memainkan peranan terbaik kita dalam mendampingi tumbuh kembang anak/siswa kita. Bismillah..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Salah dengan Sistem Pendidikan Kita?

Pertanyaan ini selalu hadir dari waktu ke waktu. Dari satu rezim ke rezim yang lain. Dari satu kurikulum kepada kurikulum yang baru. Pertany...