Rabu, 11 Oktober 2017

GELANGGANG RANDAI DI SEKOLAH impian tentang pusat literasi dan pendidikan karakter berdasarkan kearifan lokal minangkabau


Sejak era pra kemerdekaan Indonesia, Minangkabau sudah menjadi pusat pendidikan di Sumatra. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya beberapa pusat institusi pendidikan di Ranah Minang seperti Universitas Andalas, satu-satunya universitas tertua di luar Pulau Jawa, Diniyyah Putri Padang Panjang yang tak hanya diminati oleh para santri dari Indonesia, tapi juga dari Malaysia, Singapura, Brunai, dan Thailand. Sumatra Thawalib yang menjadi pelopor kebangkitan kebangsaan, Ruang INS di Kayu Tanam dengan perspektif kurikulumnya yang independen dan siap guna dan kampus-kampus baik negeri maupun swasta serta pesantren-pesantren baik tradisional maupun modern yang tersebar di seluruh Ranah Minang. Institusi-institusi pendidikan tersebut masih kokoh berdiri bahkan sebagiannya berkembang dengan pesat hingga saat ini.

Ada yang berbeda dari sistem pendidikan “lama” di Ranah Minang tersebut dibandingkan dengan sistem yang ada saat ini. Dahulu selain bersekolah secara formal di Sekolah Rakyat dan Pesantren, orang tua kita juga bersekolah secara tidak formal di Surau dan Lapau. Di Surau, selain belajar mengaji para pemuda Minangkabau juga ditunjukajari ilmu silat (bela diri), seni musik, pasambahan adat (pidato adat), seni berdebat, dan teater tradisional seperti Tupai Janjang, Simarantang, ataupun Randai. Sekolah informal ini membangun karakter pemuda-pemudi Minangkabau menjadi generasi yang percaya diri, fasih dengan ilmu agama, dan cerdas namun tetap santun.



Foto 1. Siswa beristirahat sebelum menampilkan Randai sambil bemain gadget (sumber foto: Erison J. Kambari/Instagram)

Di masa modern seperti ini, membangun kembali sistem pendidikan informal seperti dulu tidaklah mudah. Di lingkungan penulis bertugas mengajar contohnya, anak-anak usia pendidikan dasar (SD dan SMP) lebih banyak menghabiskan waktunya di Warnet untuk bermain games online dan surfing. Di usia dimana fondasi kehidupan pembentukan karakter diri seharusnya dibentuk mereka malah membuang waktu untuk permainan yang melenakan, rentan terpapar konten pornografi, premanisme, dan bahkan ada yang menghisap lem. Sementara surau saat ini hanya menjadi tempat belajar membaca Alquran, Didikan Subuh, dan kegiatan Pesantren Kilat di bulan Ramadhan saja. Kegiatan-kegiatan positif yang tadi penulis curahkan di atas mulai berangsur berkurang bahkan perlahan menghilang, kalaupun ada hanya bertahan di beberapa tempat tertentu saja di luar dari institusi surau seperti kelompok Randai para pemuda, sasaran Silat, ekstra kurikuler di sekolah menengah dll. Berangkat dari keprihatinan itulah penulis mengangkat revitalisasi kembali membangun karakter “pemuda tangguh” tersebut dengan menciptakan Gelanggang Randai di sekolah-sekolah, terutama di pendidikan dasar (SD dan SMP) sebagai usia periode emas pembentukan karakter generasi penerus di kota Padang.

Randai Selayang Pandang.

Mengapa memilih Randai? Ide ini penulis dapatkan semasa melanjutkan studi di Bandung. Di kota ini banyak gelanggang kesenian yang dipadukan dengan pusat literasi (perputakaan mini) dimana seniman yang melatih mengadakan pertunjukan di pusat kota dengan peralatan sederhana (sebagian properti hanya terbuat dari bambu) namun dapat dikemas dengan penampilan panggung yang memukau. Bandung yang tengah bertransformasi dari kota besar menjadi metropolitan tanpa ragu-ragu memadukan kearifan lokal khas Sunda dengan pendidikan, dunia pariwisata, dan semangat keberagaman. Seperti CCL di Ledeng yang melibatkan siswa sekolah menengah dan sekolah dasar dalam kegiatan drama tradisional mereka. Selain CCL juga ada Wajiwa di Buah Batu yang diasuh seorang dosen di ISBI Bandung yang lebih ke olah jiwa dan raga kanak-kanak. Hal ini mengingatkan penulis pada teater tradisional yang kita miliki namun belum tergarap secara optimal; teater tradisional Randai.

Randai memiliki hampir semua filsafat luhur dan unsur seni tradisional Minangkabau. Secara etimologis Randai berasal dari bahasa Arab yaitu kata ra’yan yang berarti penglihatan, pengamatan dan pemandangan dan da’i yang berarti penyeru, juru dakwah. Randai pada masa lalu bukan sebagai pertunjukan namun sebagai permainan anak nagari yang digunakan sebagai media penyampaian ajaran agama Islam berisi pengajian, baik tauhid (keimanan) maupun syariat (hukum Islam), Almarbawy dalam (Rustiyanti, 2010) sedangkan menurut  A. A. Navis (1984) Randai merupakan kesenian yang menggunakan medium ganda: tarian, nyanyian, sekaligus akting dan dendang.Ahli Randai dari University of Hawai’i yang menjadikan Randai sebagai dissertasinya, Kirstin Pauka (2003) secara gamblang menjelaskan Randai sebagai  sebuah teater asli Minangkabau yang berbasiskan teknik bunga-bunga silat. Selain bela diri, Randai juga menampilkan tarian, akting, nyanyian, musik instrumen, dan pukulan unik (tapuak) yang dimainkan dalam bentuk lingkaran. Fungsi Randai menurut Pauka merupakan media hiburan dan pendidikan di nagari-nagari di Minangkabau.

Menurut bentuknya Randai merupakan bentuk kesenian Minangkabau yang dilakukan oleh penari dengan menggunakan ceritera. Ciri-ciri Randai, yaitu:

1.       para penari bergerak dalam lingkaran besar (12-15 orang),

2.       sumber gerak penari galombang, bersumber dari pencak silat,

3.       karakter tokoh diungkapkan melalui akting dan dialog

4.       ceritera disampaikan dalam adegan demi adegan

5.       dendang sebagai pembatas antara suatu adegan ke adegan berikutnya., Rustiyanti, (2010).

Pementasan Randai selain diperlombakan dalam festival, biasanya dilakukan saat musim panen berakhir, pengangkatan gelar datuk (penghulu), pesta perkawinan, hari raya Idul Fitri, atau hari peringatan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus. (Pauka, 2003).

Randai sebagai Media Apresiasi Drama dan Pembentukan Karakter Percaya Diri Siswa Pendidikan Dasar

Perkembangan siswa SD dan kelas awal di SMP menurut Piaget berada pada tahap perkembangan operasional konkret, yang membutuhkan penalaran logika menggantikan penalaran intuitif, yang hanya  (bisa dilakukan) dalam situasi konkret. Situasi konkret tersebut dapat difasilitasi dengan bermain drama. Drama yang cocok digunakan untuk siswa adalah drama anak sederhana yang dekat dengan anak,  salah satunya adalah drama/teater tradisional. Menurut Latrell (1999), Randai merupakan salah satu bentuk seni teater terbaik di Sumatra Barat, Indonesia, yang memadukan tarian penuh semangat, seni bela diri, dialog, dan musik. Penggunaan drama dengan medium ganda tersebut diharapkan dapat memotivasi anak agar lebih percaya diri dan meningkatkan kemampuan apresiasi sastranya. Sesuai dengan pendapat Russel-Bowie (2013) yang menyatakan bahwa, para pendidik hendaknya mengenalkan pembelajaran yang mengasah pengalaman siswa untuk membawa perubahan sikap siswa ke arah yang positif, penuh percaya diri, dan mengerti dengan drama.

Secara umum permainan Randai klasik menggunakan teknis penyajian sebagai berikut:

a.    Sebelum pertunjukan dimulai, terlebih dulu dimainkan alat-alat musik tradisional berupa talempong, sarunai, bansi, dan gandang. Fungsi bunyi-bunyian ini sebagai pemanggil bahwa pementasan akan dimulai. Untuk aplikasi di SD jika tak ada instrumen eksternal bisa diganti dengan rekaman suara musik.

b.    Dengan aba-aba dari Janang (ketua Randai), seluruh pemain masuk ke dalam arena membentuk dua baris berbanjar, dengan langkah silat membentuk lingkaran galombang. Pemain membalas dengan “hep-ta” atau “ais-ta” berulang empat kali secara bersama.

c.     Tukang goreh memberi kode “hep-ta”, maka seluruh anak Randai duduk berjongkok. Saat itu pembawa gurindam mulai menyanyikan dendang sebagai persembahan kepada penonton. (Dendang Dayang Daini).

d.    Tukang goreh memberi kode untuk bergerak dalam lingkaran galombang pertama.

e.    Setelah lingkaran terbentuk dari dua baris berbanjar tadi, dilanjutkan dengan kata-kata persembahan kepada penonton oleh Janang.

f.      Tukang goreh memberi tanda dengan suara kode “hep-ta” mengajak para pemain bergerak dengan gaya silat. Dilanjutkan dengan gerak galombang berikutnya diiringi dendang Simarantang untuk adegan pertama.

g.    Dendang Simarantang dinyanyikan beberapa kali, tergantung dari panjangnya gerak galombang, lalu dilanjutkan dengan tampilnya tokoh lakon cerita yang berakting di dalam arena lingkaran galombang. Begitu selanjutnya sampai babak terakhir. Dalam pertunjukan Randai diselingi dengan tarian perintang, seperti tari piring, pencak silat, indang, ataupun saluang dendang. Selingan ini dimaksudkan sebagai icebreaker agar penonton tidak bosan. (Rustiyanti, 2010)


Foto.2. Siswa SD sedang latihan Randai di halaman sekolah

(dokumen pribadi)

Tata cara bermain drama menggunakan Randai yang digunakan diadaptasi dari langkah-langkah  teknik pembelajaran drama menurut Rahmanto (2005) dan Sumiyadi (2013), yang membaginya ke dalam dua tahap, yaitu sebagai berikut:

1)      Tahap Persiapan

terdiri atas: a) pelacakan pendahuluan, yaitu: (1)memilih naskah randai, (2)memilih sutradara/pelatih. b) penentuan sikap praktis, yaitu: (1)mempelajari naskah randai, (2) menganalisis (mengadaptasi) naskah randai, (3) penyajian randai dalam bentuk video/foto.

2)      Tahap Pelatihan

terdiri atas : a) mencari bentuk, yaitu: (1)  diskusi awal, (2) pengembangan randai, (3) diskusi lanjutan., b) pemantapan/latihan umum/praktik percobaan, yaitu: (1) latihan gerakan randai, (2) latihan mengucapkan dialog, (3) akting c) pagelaran/pementasan.

Naskah yang digunakan dalam Randai hendaknya merupakan naskah yang layak baca untuk siswa usia Pendidikan Dasar.


Foto 3. Siswa menampilkan Randai di aula Balai Pelestarian Nilai Budaya

(BNPB) Kota Padang (dokumen pribadi)



Gelanggang Randai di Sekolah

Adanya sasaran Randai di sekolah dalam bentuk gelanggang khusus yang dipadukan dengan pusat baca (semacam perpustakaan mini) diharapkan bisa menjadi oase bagi siswa Pendidikan Dasar (SD dan SMP). Dari segi kemampuan berbahasa dan sastra, siswa dididik menjadi lebih cinta membaca (melek literasi) melalui membaca naskah Randai yang dimainkan, latithan vokal dan ekspresi, mampu mendiskusikan unsur instrinsik sastra (mengapresiasi karya sastra Minangkabau lengkap dengan filsafat Minang yang luhur), dll. Dari segi fisik dengan bermain Randai siswa dapat melatih kemampuan motoriknya dengan belajar dasar-dasar gerakan silat, mengenal disiplin latihan, dan sopan santun dalam berbicara di depan publik.



Foto 4. Teater Terbuka/Gelanggang Randai impian

Di Kota Padang sendiri sudah ada sanggar seni dan sasaran Randai, namun yang bersinergi dengan sekolah atau didirikan sebagai bagian dari pusat edukasi di sekolah belum banyak. Adanya hubungan saling edukasi antara sekolah dengan budayawan terutama seniman silat dan Randai yang difasilitasi oleh pemerintah kota diharapkan dapat mewujudkan impian ini. Randai yang dijadikan sebagai bagian dari kurikulum di University of Hawai’i dan Akademi Seni dan Warisan Malaysia seharusnya juga dapat diadaptasi sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di Kota Padang. Sepulang sekolah, siswa-siswi SD dan SMP dapat belajar memainkan Randai  agar siswa tak hanya disibukkan oleh aktivitas di luar sekolah yang berbau negatif sekaligus mendidiknya untuk lebih menghargai budayanya sendiri.



Pauh, 17 April 2017


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Salah dengan Sistem Pendidikan Kita?

Pertanyaan ini selalu hadir dari waktu ke waktu. Dari satu rezim ke rezim yang lain. Dari satu kurikulum kepada kurikulum yang baru. Pertany...