Setiap orang tua menginginkan anaknya tumbuh secara normal. Menjadi anak yang cerdas di sekolah, soleh akhlak perilakunya, dan pandai bergaul di tengah masyarakat. Tetapi dalam perkembangannya, beberapa anak memiliki hambatan. Generalisasi bahwa anak yang mengalami kesulitan belajar disebabkan oleh kurangnya kemampuan intelektual anak tidaklah benar. Sebagian mengalami kesulitan tersebut karena ada masalah dalam mengintegrasikan informasi dari beberapa area otak atau gangguan kecil pada struktur dan fungsi otak (Santrock, 2012 : 324).
Salah
satu kesulitan belajar yang dialami anak adalah disleksia (dyslexia). Shaywitz
& Sahywitz, 2007 (dalam Santrock, 2012 : 324) menjelaskan 80 persen
anak-anak dengan kesulitan belajar bermasalah dengan membaca. Meski penyebab
utamanya sampai saat ini belum ditentukan, pemerintah berbagai negara telah
melakukan program intervensi untuk membantu anak-anak dengan kesulitan belajar
membaca.
Di
bawah ini ada dua artikel yang membahas tentang disleksia, baik dari segi
pendefenisian maupun pandangan guru terhadap disleksia itu sendiri.
Artikel pertama.
Tunmer, W & Greaney, K. (2010). Defining Dyslexia. Journal of Learning
Disabilities, 43 (3), pp.229-243. DOI: 10.1177/0022219409345009
Artikel
ini menggali kembali konsep Disleksia yang
berbeda dari defenisi disleksia yang ditetapkan pemerintah Selandia
Baru. Defenisi disleksia yang mereka rumuskan berdasarkan realitas di lapangan
yang selaras dengan pengertian disleksia menurut Asosiasi Disleksia
Internasional.
Beberapa
teori telah salah mengasumsikan bahwa keterampilan membaca dapat dilihat dari penguasaan siswa akan kata-kata yang bisa diprediksi ketika
membaca sebuah bacaan yang menggunakan sumber beragam. Padahal, memusatkan
perhatian terlalu banyak terhadap penguasaan kata-kata cenderung membuat siswa
gagal karena mengalihkan perhatiannya dari apa yang seharusnya dipelajari dari
bacaan.
Kedua
peneliti menggunakan Running Record sebagai alat utama untuk melihat sejauh
mana kemampuan membaca siswa. Running Record merupakan salinan dari bacaan paragraf yang salah
ketika siswa membaca secara lisan. Kesalahan ini bisa berupa beberapa konsonan
yang mirip, maupun bunyi katanya.
Peneliti
menjelaskan bagian-bagian dari defenisi disleksia, yaitu kesulitan belajar
membaca yang menetap. Kesulitan yang dimaksud di sini adalah;
1. Kesulitan
Mengenali Kata
2. Kesulitan
Mengeja
3. Kesulitan
Mengodekan Bunyi Bahasa dimana kemampuan untuk mengubah huruf dan pola huruf
menjadi bentuk bunyi suara.
Peneliti
meluruskan pandangan kesulitan belajar membaca yang “menetap” tersebut. Secara
tradisional orang beranggapan, anak-anak disleksia merupakan anak-anak dengan
kemampuan IQ yang rendah. Hal ini menimbulkan persepsi negatif terhadap dirinya
sendiri, sehingga merasa malas untuk berusaha keras agar bisa membaca seperti
siswa normal yang lain. Sehingga bukan saja mengalami kurang latihan dalam
membaca, siswa bahkan menolak mempelajari materi yang terasa sukar bagi mereka.
Hal ini sering terjadi pada anak laki-laki. Penelitian sebelumnya dari para
ahli memperlihatkan bahwa tes kemampuan intelektual (IQ) tidak relevan
digunakan untuk mendefenisikan disleksia.
Sekolah
hendaknya memahami mana yang tergolong disleksia, dan mana yang bukan. Yang
bukan termasuk kriteria disleksia adalah;
1. masalah
sulit memfokuskan perhatian,
2. keterbelakangan
mental
3. kerusakan
bahasa lisan
4. gangguan
emosi atau gangguan tingkah laku
5. kesulitan
mendengar atau masalah ketajaman penglihatan
6. kelainan
pada syaraf seperti autis atau kurang waras sejak kecil, atau menderita sakit
yang sangat parah.
Perbedaan
mendasar antara siswa disleksia dengan yang bukan disleksia adalah, siswa
mengerti dan dapat menjawab dengan baik bila teks dibacakan, tetapi mengalami
kesulitan jika mengkodekan kembali dalam bentuk tulisan. Secara umum anak-anak
ini memiliki kecerdasan yang normal.
Peneliti
menggunakan model SVR (Simple View of Reading) yang dikembangkan Gough dan
Tunmer (1986). Yang diukur dari model ini adalah kemampuan siswa dalam Reading
Comprehension (membaca pemahaman, Decoding Skill (kemmapuan mengkodekan kembali
huruf), dan Oral Language Comprehension (kemampuan pemahaman bahasa lisan).
Selain itu juga menggunakan model RTI untuk langkah preventif dan
mengidentifikasi kesulitan belajar membaca. Perbedaannya dengan SVR adalah
model RTI mencakup prosedur identifikasi kesulitan belajar membaca dan memantau
kemajuan (progres) perkembangan bahasa anak.
Permasalahan
utama disleksia selain uraian di atas menurut peneliti ini adalah masalah
fonologis, merubah aksara menjadi suara. Defenisi ini cocok dengan defenisi
disleksia menurut Asosiasi Disleksia Internasional.
Artikel Kedua
Hormstra, L.,
Denessen, E., Bakker, J.,Bergh, Lvd., Voeten, M (2010). Teacher Attitudes Toward Dyslexia: Effects on Teacher Expectations and
the Academic Achievement of Students With Dyslexia, Journal of Learning Disabilities, 43 (6), pp 515-529. DOI:10. 1177/0022219409355479
Artikel ini ditulis
berdasarkan penelitian tentang efek sikap guru terhadap pencapaian hasil
belajar siswa dengan ketidakmampuan belajar keaksaraan (disleksia) di Belanda
yang sekolah di sekolah umum (inklusi). Penelitian
ini difokuskan pada sikap guru terhadap siswa disleksia dan hubungannya dengan
prestasi belajarnya.
Sejarah penelitian
tentang ekspektasi guru memperlihatkan korelasi positif antara sikap guru yang
penuh ekspektasi terhadap prestasi siswa. Ekspektasi yang rendah terhadap siswa
dengan label kesulitan belajar keaksaraan atau disleksia dan stigmatisasi atau
pelabelan stereotip kelompok orang memungkinkan guru menaruh ekspektasi atau
harapan yang rendah terhadap siswa disleksia. Hal ini disebabkan penilaian yang
terlihat dari tugas menulis maupun tugas-tugas skolastik lainnya.
Penelitian ini
dilakukan dengan melibatkan guru-guru dari daerah tengah dan selatan Belanda.
Sampel terdiri atas 30 orang guru dengan 307 siswa, dimana 40 orang dinilai
mengalami disleksia, dan sisanya siswa dengan kemampuan belajar biasa. 8 orang
dari siswa disleksia diidentifikasi mengalami gaangguan sikap/perilaku.
Hal-hal yang diukur
dalam penelitian ini adalah, 1) sikap guru. Untuk mengukur sikap guru, peneliti
menggunakan Self Report. Pengukuran difokuskan pada sikap atau tindakan eksplisit dan implisit guru
terhadap siswa disleksia. Sikap eksplisit guru dilihat dari jawabannya atas
kuisioner yang secara lugas menggambarkan perlakuan/sikap guru dalam menghadapi
siswa disleksia. Sedangkan kuisioner untuk mengukur sikap implisit guru, dengan
pilihan jawabannya lebih disesuaikan agar apa yang hendak diukur tidak terlalu
mencolok. 2) Ekspektasi guru. Untuk mengukur hal ini guru mengisi lembar
evaluasi tentang karakteristik akademis siswa inklusinya. 3) Pengukuran
prestasi siswa untuk melihat dependen maupun independensi siswa. Peengukuran
dependen menggunakaan evaluasi bebas dari guru, sedangkan untuk yang independen
menggunakan test dari Dtch National
Institue for Educational Measurements (CITO). Variabel kontrol selain jenis
kelamin adalah tingkat pendidikan orang tua siswa.
Hasil penelitiaan
menunjukkan secara signifikan anak-anak dengan label disleksia rata-rata diberi
nilai prestasi yang rendah oleh guru-gurunya. Hal ini terlihat dari tugas menulis
dan tugas mengeja, tetapi tidak terlihat pada tugas matematika. Sedangkan hasil
pengukuran sikap eksplisit guru terhadap siswa disleksia menunjukkan asumsi dan
sikap guru positif terhadap siswa disleksia. Namun dalam pengkukuran sikap
implisit justru sebaliknya, sangat variatif. Hal ini membuktikan pelabelan
disleksia dalam satu segi mungkin memudahkan guru dalam membantu siswa
mengatasi kesulitan keaksaraannya, namun di lain pihak dapat menempatkan anak
pada resiko stigmatisasi sebagaimana hasil penelitian tersebut. Untuk
meminimalisir stigmatisasi ini diharapkan program pelatihan mauppun pendidikan
guru memberitahu tentang bahaya stigmatisasi sehingga guru dapat mengevaluasi
sikapnya untuk lebih positif dan memiliki semangat membantu siswa disleksia mengatasi
kesulitan belajarnya
DISKUSI
Pemerolehan
kemampuan berbahasa sudah dimiliki anak sejak usia bayi. Perkembangan bahasanya
dimulai dari mengenali perbedaan yang sangat kentara antara bunyi-bunyi bahasa,
menangis , mendekut, dan kemudian berceloteh di pertengahan tahun pertama
kehidupannya.
Pada
usia sekolah, perkembangan bahasa anak semakin terasah dengan mempelajari huruf
sebagai lambang bunyi bahasa. Kesulitan anak dalam memahami bunyi bahasa,
mengenali huruf, kalimat, dan membacanya kembali disebut dengan kesluitan
belajar keaksaraan atau disleksia.
Artikel
Defining Dyslexia, mencoba
mendudukkan kembali konsep disleksia yang sudah dirumuskan pemerintah Selandia
Baru (dalam hal ini kementerian pendidikan) yang terlalu menekankan pada
pengertian disleksia dengan cakupan ketidakmampuan yang luas, bahkan termasuk
didalamnya kesulitan berhitung dan membaca notasi musik, yang sunnguh sangat
jauh dari konsep disleksia sebenarnya di lapangan . Pengertian tersebut
dirumuskan untuk kemudian dibuktikan melalui penelitian yang ternyata
membuktikan bahwa disleksia merupakan kesulitan belajar membaca (yang bersifat)
menetap, mencakup kesulitan mengenali kata, mengeja, dan mengkodekan kembali
bunyi bahasa dari huruf menjadi bunyi suara.
Vaughn,
S, dkk. (2011: 149), menjelaskan, “dyslexia
refers to severe difficulty in learning to read, particularly as it relates to
decoding and spelling...Dyscalculia refers to sever difficulty in learning
mathematical concepts and computations.”
Dari
penjelasan Vaughn, dkk. di atas dapat dilihat bahwa disleksia dan diskalkulia
adalah dua kesulitan belajar yaang berbeda. Hal ini dapat pula dibuktikan
dengan melihat hasil penelitian Tunmer & Greaney yang memperlihatkan bahwa
umumnya siswa disleksia tidak bermasalah dalam memahami pelajaraan matematika.
Meskipun tidak tertutup kemungkinaan, anak dengan disleksia ternyata juga
mengalami diskalkulia sekaligus.
Defenisi
lain tentang disleksia dapat kita lihat pada pengertian disleksia oleh
pemerintah AS tahun 2004 yang diotorisasi
ulang sebagai,
Seorang anak dengan
kesulitan belajar (learning disability) memiliki kesulitan dalam belajar yang
meliputi pemahaman atau menggunakan bahasa lisan maupun tulisan, dan kesulitan
tersebut terlihat dalam hal memdengar, berpikir, membaca, menulis, dan
mengeja...masalah alam belajar ini bukanlah akibat dari keterbatasan visual,
pendengaran, atau motorik; retardasi mental; gangguan emosi; atau karena keterbatasan
lingkungan, budaya, dan ekonomi.
Dari
pengetian di atas dan sebagaimana juga dibahas dalam artikel, antara kesulitan
belajar disleksia dengan kesulitan belajar yang bukan merupakan disleksia seperti sangatlah berbeda. Anak dengan
disleksia secara umum normal, tidak mengalami rendahnya IQ, masalah visual,
pendengaran, keterbelakaangan mental, dlsb.
Lissa
Weinstein, Ph.D dalam bukunya Living with Dyslexia, merumuskan pengertian
disleksia secara jelas sbb: “(merupakan) salah satu dari beberapa jenis
kesulitan belajar yang khas. Suatu gangguan spesifik berbasis bahasa yang
bersifat bawaan ditandai dengan kesulitan mengartikan satu kata tunggal (yang)
biasanya mencerminkan kemampuan pemrosesan fonologis yang tidak memadai, (yang
tidak berkaitan) dengan usia serta kemampuan kognitif akademis lainnya”
Judul
penelitian dan bahasan tentang mendefenisikan disleksia ini menimbulkan
pertanyaaan, seberapa pentingkah mendudukkan kembali pengertian disleksia
tersebut? Bukankah penelitian tentang teknik mengajar siswa disleksia yang
kreatif dan mudah dipahami siswa lebih menarik untuk dibahas?
Mendudukkan
konsep disleksia, dengan cara mngoreksi kesalahan defenisi yang dicantumkan
oleh Kementerian Pendidikan sebenarnya penting. Kebijakan yang diambil oleh
kementerian pendididkan Selandia Baru tentu mengacu pada pengertian yang dibuat
tersebut. Kesalahan dalam mendefenisikan disleksia membuat kebijakan penanganan
disleksia akan menjadi sulit di lapangan.Koreksi atas kesalahan ini sangatlah
tepat.
Hal
yang mungkin terlalu sedikit dibahas dalam artikel, ini bahkan dianggap
sekunder defenition (tidak terlalu penting) adalah efek sosial dan psikologis
yang dialami anak disleksia. Wood, D, dkk. (2012: 23) menguraikan bahwa
Kesulitan
belajar dapat menghinggapi seseorang dalam kurun waktu yang lama..memengaruhi
banyak aspek kehidupan seseorang, baik itu di sekolah, pekerjaan, rutinitas
sehari-hari, kehidupan keluarga, atau bahkan terkadang dalam hubungan
persahabatan dan bermain..penderita menyatakan bahwa kesulitan ini berpengaruh
ada kebahagiaan mereka.
Banyak
selebritis dan bahkan ilmuwan, seperti Einstein, aktor Hollywood seperti Keanu
Reeves, Whoopy Goldberg, Tom Cruise, dan petinju legendaris dunia Mohammed Ali,
adalah penyandang disleksia. Mereka
menceritakan tekanan psikologis yang mereka alami
Sejak
kecil hingga beranjak dewasa. Namun dengan kegigihannya mereka berhasil menggapai
cita-citanya. Motivasi seperti ini sangat penting untuk disampaikan pada anak
dengan disleksia agar tidak berputus asa dalam menaklukkan kesulitan belajar
yang ia alami.
Pada
artikel kedua yang berjudul Teacher Attitudes Toward
Dyslexia: Effects on Teacher Expectations and the Academic Achievement of
Students With Dyslexia.,
lebih fokus terhadap hubungan antara ekspektasi guru yang positif terhadap
siswa disleksia akan meningkatkan hasil belajarnya.
Para
ahli perkembangan interaksi berpandangan bahwa biologi dan pengalaman sama-sama
berkontribusi terhadap perkembangan bahasa Berko Gleason (dalam Santrock, J. ,
W. , 2012: 198).Pengalaman belajar yang positif akan menambah semangat siswa
dalam mengatasi kesulitan belajar yang ia alami. Sebaliknya, pengalaman yang
tidak menyenangkan dalam belajar maupun terapi wicara akan mematikan semangat
siswa.
Vaughn,
dkk (2011: 147) memberi gambaran sebuah kelas yang mereka kunjungi dimana kedua
gurunya bekerjasama membuat perencanaan pembelajaran dan mendesain program pendidikan
untuk mendukung dua orang siswanya yaang tergolong memiliki kesulitan belajar.
Sikap positif seperti ini, dibarengi dengan pembelajaran yang menyenangkan
sangat membaantu siswa menemukan caranya sendiri mengatasi kesulitan
belajarnya. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan Wood, D. (2012: 55-60) tentang perlunya menumbuhkan rasa percaya
diri anak dan mampu membangun relasi yang sehat dengan orang lain. Intervensi
awal sejak dini diperlukan sebelum anak bersekolah, dan kemudian menyadari
bahwa ia memiliki ketidakmampuan yang kemudian memberi cap pada dirinya sendiri
kalau ia bodoh karena kesulitan belajar keaksaraan. Sebelum hal itu terjadi
membawa anak pada ahli terapi wicara profesional untuk membantunya.Anak akan
memiliki cara alternatif untuk belajar. Fleksibilitas otak untuk mempelajari
kemampuan baru ini merupakan hal terbesar dalam tahun-tahun awal kehidupan
anak, dan akan hilang setelah ia mengalami masa pubertas.
Ada
banyak teknik pembelajaraan yang dapat digunakan untuk membantu anak dengan kesulitan
belajar, terutama disleksia, seperti;
1.
Menyediakan satu kerangka kerja untuk
pembelajaran, yang menggunakan Advance Organizers
2.
Menggunakan pemikiran yang kuat dan
percakapan interaktif, dengan metode Cognitive Strategies.
3.
Mengajar menggunakan pengaturan dan
pemantauan diri menggunakan Self Monitoring
4.
Menggunakan praktek latihan dan
penerapan yang berkelanjutan
5.
Menggunakan alat belajar (media) dan
alat bantu
6.
Menyajikan pembelajaran dengan dengan
berbagai cara. (Vaughn, dkk, 2011:
152-160).
Pelaksanaan
semua itu akan sia-sia jika guru sebelum melaksanakan pembelajaran sudah
memiliki ekspektasi yang rendah terhadap siswanya yang mengalami kesulitan
belajar. Pemberian motivasi hanya bisa diberikan oleh orang yang berpikiran
positif, untuk itu guru harus menghapus pemikiran kolot seperti di masa lalu
yang salah mengenali disleksia sebagai “kekurangan disebabkan rendahnya IQ”,
melainkan melaksanakan pembelajaran yang kreatif dengan berbagai langkah yang
menarik.
KONKLUSI
Disleksia
merupakan salah satu Learning Disabilities (kesulitan belajar) yang merupakan
bawaan berkaitan dengan kesulitan mengenali kata, mengeja, dan mengkodekan
kembali bunyi bahasa dari huruf menjadi bunyi suara yang bukan akibat dari keterbatasan visual, pendengaran,
atau motorik; retardasi mental; gangguan emosi; usia serta kemampuan kognitif
akademis lainnya. Pengenalan tanda-tanda disleksia sejak dini akan membantu
anak secara cepat mendapatkan intervensi sehingga tidak mengalami pengalaman
buruk di sekolah, dan pada usia pubertas ia sudah mampu mengatasi kesulitan
belajarnya dengan teknik yang ia ciptakan sendiri. Ekspektasi yang positif dari
lingkungan, baik keluarga, guru, akan membantu siswa meningkatkan semangat
belajarnya, sebaliknya sikap negatif seperti pemberian label atau stigma
terhadap siswa disleksia justru akan mematikan potensinyaa sendiri.
BIBLIOGRAFI
Hormstra, L.,
Denessen, E., Bakker, J.,Bergh, Lvd., Voeten, M (2010). Teacher Attitudes Toward Dyslexia: Effects on Teacher Expectations and
the Academic Achievement of Students With Dyslexia, Journal of Learning Disabilities, 43 (6), pp 515-529. DOI:10. 1177/0022219409355479
(on-line) tersedia di http://ldx.sagepub.com/content/43/3/229
Santrock, John W.
(2012). Perkembangan Masa Hidup Edisi
Ketigabelas Jilid I (Life Span Development - 13th
ed). Jakarta: Penerbit Erlangga
Tunmer, W & Greaney, K. (2010). Defining Dyslexia. Journal of Learning
Disabilities, 43 (3), pp.229-243.DOI:10.1177/0022219409345009. (on-line)
tersedia di http://ldx.sagepub.com/content/43/6/515
Vaughn, S, et all.
(2011). Teaching Students Who are Exceptional, Diverse, and At Risk in the
General Education Classroom- 5th ed. Boston : Pearson.
Weinstein, L.
(2007). Living with Dyslexia: Pergulatan Ibu Melepaskan Putranya dari Derita
Kesulitan Belajar. Bandung : Qanita
Wood, D., dkk.
(2012). Kiat Mengatasi Gaangguan Belajar. Jogjakarta : Katahati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar