BAB I
PENDAHULUAN
Artikel
1
Olinghouse, N.G.(2007). Student-and instruction-level Predictor of Narrative Writing in
Third-grade Students, 21. Pp. 3-26..
DOI:10.1007/s11145-007-9062-1
Artikel ini membicarakan tentang penelitian tentang keterampilan
menulis naratif siswa di kelas tiga SD di U.S. Penulis memandang penting
penelitian ini karena rendahnya kemampuan menulis sebagian di U.S. Hal ini
dapat dilihat dari banyaknya sebagian siswa yang mengalami kesulitan menulis
daripada membaca atau berhitung. Padahal kemampuan ini mutlak dibutuhkan saat
dewasa, seperti saat interview
pekerjaan. Penelitian ini melihat korelasi antara kemampuan membaca, menulis
dengan tulisan tangan, memahami ejaan (tanda baca), tata bahasa, dan kecerdasan
intelektual (IQ), serta jenis kelamin.
Tujuan dari penelitian difokuskan pada mengidentifikasi dan
memprediksi kualitas kemampuan menulis siswa serta interaksi antara siswa
dengan karakteristik pembelajaran.
Peneliti mengkritisi pandangan keterampilan transkripsi yang
sebenarnya membatasi kemampuan menulis siswa
dimana siswa diharuskan mengembangkan keterampilan transkripsi berupa
menulis dengaan tulisan tangan daan memahami ejaan. Untuk itulah peneliti ingin
melihat hubungan antara berbagai kemampuan tersebut dengan kemampuan menulis
siswa menggunakan pendekatan bivariat. Penggunaan data bivariat ini dimaksudkan
untuk mengekplorasi kemampuan memprediksi setiap variabel (dalam hal ini adalah
kemampuan membaca, menulis dengan tangan, memahami ejaan, tingkat IQ, dan
gender).
Penelitian ini melibatkan 13 orang guru perempuan dengan
siswa-siswanya selama musim semi (empat bulan). Para guru ini rata-rata telah
mengajar selama tujuh belas tahun di SD. Prosedur untuk penilaian pada
penilaian menulis narasi dan menulis tulisan tangan difokuskan pada komposisi
tulisan, ejaan, dan kelancaran menulis tulisan tangan. Hasil penelitian menunjukkan
siswa dengan nilai lebih tinggi didasarkan pada kulaitas tulisan mereka, selain
itu kemampuan intelektual (IQ) berpengaruh positif terhadap peningkatan
kualitas tersebut, sedangkan gender memperlihatkan perbedaan signifikan antara
kedua jenis kelamin (pria dan wanita)
Artikel 2
Hertz-Lazarowitz, R.(2004). Storybook Writing
in First Grade. Reading and Writing Journal, 17, Pp 267-299, Retrieved from http://link.springer.com/article/10.1023/B%3AREAD.0000017689.04775.b7
Penelitian ini mengambil judul yang “eye catching”, tentang kemampuan
siswa menulis buku ceritanya sendiri di
kelas satu SD. Penulis menentang pemahaman umum dalam dunia pendidikan yang
berpendapat bahwa menulis cerita hanya bisa dilakukan di kelas tinggi.
Penelitian ini dilakukan di kota Akra, Haifa, Israel. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengembangkan satu set berbasiskan teori untuk
mengkategorikan kemampuan menulis buku cerita anak-anak dalam dua bahasa. Yaitu
bahasa Arab dan Ibrani. Dimana kondisi etnis demografis Israel dengan mayoritas
Yahudi dan warga keturunan Arab. Penelitian di lakukan secara terpisah pada
sekolah Yahudi dan sekolah Arab di kelas satu SD.
Penulis membandingkan penggunaan metode lama dalam pembelajaran
menulis, yaitu Active Learning (AL) dengan metode baru Success For All (SFA).
Dengan jumlah siswa yang berpartisipasi 505 orang dimana tiga kelas menerapkan
metode AL, dan satu kelas menerapkan metode SFA.
Pada penelitian ini anak diarahkan untuk membuat buku cerita
mereka dengan bantuan gambar yang kemudian dilengkapi dengan cerita yang mereka
tulis berdasarkan gambar yang kemudian dibentuk menjadi buklet.
Hasil yang didapat adalah ,anak-anak di akhir kelas satu bisa
menulis buku cerita yang menarik. Selain itu metode SFA berpotensi meningkatkan
pengembangan literasi pada siswa Ibrani maupun Arab, namun tidak berpengaruh
pada siswa dengan kemampuan rendah ataupun siswa disabilitas. Perbedaan
mencolok juga terlihat pada hasil tulisan anak Yahudi dengan Arab, dimana hasil
belajar siswa Yahudi jauh di atas hasil belajar siswa Arab.
Artikel 3
Regan, K.& Berkeley, S.(2011).
Effective Reading and Writing Instruction : A Focus Modelling. Intervention in
School and Clinic, 47 (5) Pp.276-282. DOI : 10.1177/1053451211430117.
Artikel ini memaparkan pentingnya penggunaan strategi Modelling
(pemodelan) dalam pembelajaran membaca dan menulis efektif. Strategi ini dipercaya
membantu siswa memahami konsep, strategi, dan keterampilan baru. Regan dan
Barkeley ini mencoba meyakinkan pembacanya dengan langkah yang begitu persuasif
tentang penggunaan modelling dalam
pembelajaran membaca dan menulis.
Penulis menjelaskan
berbagai strategi modelling yang dapat digunakan dalam pembelajaran membaca
dan menulis, diantaranya, SRSD (Self – Regulated
Strategy Development Model) yang cocok digunakan untuk pemodelan dalam
merevisi. Untuk sekolah dasar dapat
digunakan model STOP (Suspend Judgement,
Take a Side, Organize Ideas, and Plan more as you write). Model STOP bahkan
memperlihatkan peningkatan berarti pada siswa dengan kesulitan belajar. Di sini
penulis menjabarkan kedua proses pembelajaran dengan detail dan jelas.
Penulis
memaparkan pentingnya sebuah pemodelan yang mengandung aspek spesifik,
jelas dan tegas, serta
fleksibel dengan bukti
tertulis yang lengkap. Kejelasan di atas dimaksudkan untuk memudahkan siswa
mengambil manfaat dari pembelajaran. Siswa butuh kejelasan informasi
pembelajaran untuk memudahkan ia dalam mempraktikkanya.
Artikel 4
Zipke, M. (2012). Teacher Thoughts on
e-readers in The Elementary School Clasroom. Educ Inf Technol, 18. Pp 421-441.
DOI 10.1007/s10639-012-9188-x
Pesatnya perkembangan teknologi
informasi memberi ruang untuk inovasi dalam bidang pendidikan. Zipke melakukan penelitian
tentang dampak penggunaan e-book reader (pembaca buku elektronik) di U.S dengan
merek jual Kindle yang diproduksi dan dijual oleh toko online Amazon.com.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
membahas potensi kegunaan e-Reader di
sekolah dasar. e-Reader yang
digunakan ini diperoleh melalui hibah dari pemerintah daerah. Penggunaan e-Reader yang meluas di U.S dan mini tablet
yang merata di berbagai negara seharusnya menambah semangat penggunaannya untuk
kemajuan dunia pendidikan. Kelebihan gadget
Kindle antara lain, memiliki kamus dan fungsi text to-speech. Selain itu, harga buku elektronik umumnya lebih
terjangkau daripada buku biasa yang diproduksi dari kertas. Lebih mudah dibawa
karena tipis, tetapi kapasitas penyimpanannya yang besar , sehingga baik guru
maupun siswa tidak perlu berat-berat lagi membawa buku. Kelemahannya, alat
elektronik kadang gampang rusak dan sering menjadi objek pencurian.
Rumusan masalah dalam penelitian ini
difokuskan pada peran yang dapat
dilakukan e-Reader di SD dan apa keuntungan dan kerugian bagi guru dalam
penggunaan teknologi ini. Sampel yang digunakan adalah guru-guru serta murid-murid peneliti sendiri dari kelas 2
sampai kelas 7 dan 8 yang dipilih mewakili berbagai latar belakang, anak
perkotaan dan pinggiran kota yang berbeda dalam kesempatan akses ke penggunaan peralatan IT.
Metode yang digunakan berupa recording
interview dan pengisian kuisioner.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, meskipun
sebagian guru masih meragukan efektivitas penggunaan e-Reader di SD, dengan
pertimbangan mahalnya harga perawatan dan suku cadangnya, kerusakan yang
mungkin timbul bagi anak-anak dengan kesulitan mengontrol tingkah laku, dan
aplikasi yang terkadang belum memenuhi apa yang diharapkan, tapi e-Reader tampaknya siap untuk menggantikan buku
tradisional yang dijual di toko buku. Penggunaan e-Reader di SD sangat membantu
siswa yang memang suka membaca dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya.
Artikel 5
Tunmer, W & Greaney, K. (2010). Defining Dyslexia. Journal of Learning
Disabilities, 43 (3), pp.229-243. DOI: 10.1177/0022219409345009
Artikel
ini menggali kembali konsep kesuitan membaca (disleksia) yang berbeda dari defenisi disleksia yang
ditetapkan pemerintah Selandia Baru. Defenisi disleksia yang mereka rumuskan
berdasarkan realitas di lapangan yang selaras dengan pengertian disleksia
menurut Asosiasi Disleksia Internasional.
Beberapa
teori telah salah mengasumsikan bahwa keterampilan membaca dapat dilihat dari penguasaan siswa akan kata-kata yang bisa diprediksi ketika
membaca sebuah bacaan yang menggunakan sumber beragam. Padahal, memusatkan
perhatian terlalu banyak terhadap penguasaan kata-kata cenderung membuat siswa
gagal karena mengalihkan perhatiannya dari apa yang seharusnya dipelajari dari
bacaan.
Kedua
peneliti menggunakan Running Record
sebagai alat utama untuk melihat sejauh mana kemampuan membaca siswa. Running Record merupakan salinan dari bacaan paragraf yang salah
ketika siswa membaca secara lisan. Kesalahan ini bisa berupa beberapa konsonan
yang mirip, maupun bunyi katanya.
Peneliti
menjelaskan bagian-bagian dari defenisi disleksia, yaitu kesulitan belajar
membaca yang menetap. Kesulitan yang dimaksud di sini adalah;
1. Kesulitan
Mengenali Kata
2. Kesulitan
Mengeja
3. Kesulitan
Mengodekan Bunyi Bahasa dimana kemampuan untuk mengubah huruf dan pola huruf
menjadi bentuk bunyi suara.
Peneliti
meluruskan pandangan kesulitan belajar membaca yang “menetap” tersebut. Secara
tradisional orang beranggapan, anak-anak disleksia merupakan anak-anak dengan
kemampuan IQ yang rendah. Hal ini menimbulkan persepsi negatif terhadap dirinya
sendiri, sehingga merasa malas untuk berusaha keras agar bisa membaca seperti
siswa normal yang lain. Sehingga bukan saja mengalami kurang latihan dalam
membaca, siswa bahkan menolak mempelajari materi yang terasa sukar bagi mereka.
Hal ini sering terjadi pada anak laki-laki. Penelitian sebelumnya dari para
ahli memperlihatkan bahwa tes kemampuan intelektual (IQ) tidak relevan
digunakan untuk mendefenisikan disleksia.
Sekolah
hendaknya memahami mana yang tergolong disleksia, dan mana yang bukan. Yang
bukan termasuk kriteria disleksia adalah;
1. masalah
sulit memfokuskan perhatian,
2. keterbelakangan
mental
3. kerusakan
bahasa lisan
4. gangguan
emosi atau gangguan tingkah laku
5. kesulitan
mendengar atau masalah ketajaman penglihatan
6. kelainan
pada syaraf seperti autis atau kurang waras sejak kecil, atau menderita sakit
yang sangat parah.
Perbedaan
mendasar antara siswa disleksia dengan yang bukan disleksia adalah, siswa
mengerti dan dapat menjawab dengan baik bila teks dibacakan, tetapi mengalami
kesulitan jika mengkodekan kembali dalam bentuk tulisan. Secara umum anak-anak ini
memiliki kecerdasan yang normal.
Peneliti
menggunakan model SVR (Simple View of Reading) yang dikembangkan Gough dan
Tunmer (1986). Yang diukur dari model ini adalah kemampuan siswa dalam Reading
Comprehension (membaca pemahaman, Decoding Skill (kemmapuan mengkodekan kembali
huruf), dan Oral Language Comprehension (kemampuan pemahaman bahasa lisan).
Selain itu juga menggunakan model RTI untuk langkah preventif dan
mengidentifikasi kesulitan belajar membaca. Perbedaannya dengan SVR adalah
model RTI mencakup prosedur identifikasi kesulitan belajar membaca dan memantau
kemajuan (progres) perkembangan bahasa anak.
Permasalahan
utama disleksia selain uraian di atas menurut peneliti ini adalah masalah
fonologis, merubah aksara menjadi suara. Defenisi ini cocok dengan defenisi
disleksia menurut Asosiasi Disleksia Internasional.
Artikel
6
Hormstra, L., Denessen, E., Bakker, J.,Bergh, Lvd.,
Voeten, M (2010). Teacher Attitudes
Toward Dyslexia: Effects on Teacher Expectations and the Academic Achievement
of Students With Dyslexia, Journal of
Learning Disabilities, 43 (6), pp 515-529. DOI:10. 1177/0022219409355479
Artikel
ini ditulis berdasarkan penelitian tentang efek sikap guru terhadap pencapaian
hasil belajar siswa dengan ketidakmampuan belajar keaksaraan (disleksia) di
Belanda yang sekolah di sekolah umum
(inklusi). Penelitian ini difokuskan pada sikap guru terhadap siswa disleksia
dan hubungannya dengan prestasi belajarnya.
Sejarah
penelitian tentang ekspektasi guru memperlihatkan korelasi positif antara sikap
guru yang penuh ekspektasi terhadap prestasi siswa. Ekspektasi yang rendah
terhadap siswa dengan label kesulitan belajar keaksaraan atau disleksia dan
stigmatisasi atau pelabelan stereotip kelompok orang memungkinkan guru menaruh
ekspektasi atau harapan yang rendah terhadap siswa disleksia. Hal ini
disebabkan penilaian yang terlihat dari tugas menulis maupun tugas-tugas
skolastik lainnya.
Penelitian
ini dilakukan dengan melibatkan guru-guru dari daerah tengah dan selatan
Belanda. Sampel terdiri atas 30 orang guru dengan 307 siswa, dimana 40 orang
dinilai mengalami disleksia, dan sisanya siswa dengan kemampuan belajar biasa.
8 orang dari siswa disleksia diidentifikasi mengalami gaangguan sikap/perilaku.
Hal-hal
yang diukur dalam penelitian ini adalah,
1) sikap guru. Untuk mengukur sikap guru, peneliti menggunakan Self Report. Pengukuran difokuskan pada
sikap atau tindakan eksplisit dan
implisit guru terhadap siswa disleksia. Sikap eksplisit guru dilihat dari
jawabannya atas kuisioner yang secara lugas menggambarkan perlakuan/sikap guru
dalam menghadapi siswa disleksia. Sedangkan kuisioner untuk mengukur sikap
implisit guru, dengan pilihan jawabannya lebih disesuaikan agar apa yang hendak
diukur tidak terlalu mencolok. 2) Ekspektasi guru. Untuk mengukur hal ini guru
mengisi lembar evaluasi tentang karakteristik akademis siswa inklusinya. 3)
Pengukuran prestasi siswa untuk melihat dependen maupun independensi siswa.
Peengukuran dependen menggunakaan evaluasi bebas dari guru, sedangkan untuk
yang independen menggunakan test dari
Dtch National Institue for Educational Measurements (CITO). Variabel kontrol
selain jenis kelamin adalah tingkat pendidikan orang tua siswa.
Hasil
penelitian menunjukkan secara signifikan anak-anak dengan label disleksia
rata-rata diberi nilai prestasi yang rendah oleh guru-gurunya. Hal ini terlihat
dari tugas menulis dan tugas mengeja, tetapi tidak terlihat pada tugas
matematika. Sedangkan hasil pengukuran sikap eksplisit guru terhadap siswa
disleksia menunjukkan asumsi dan sikap guru positif terhadap siswa disleksia. Namun
dalam pengkukuran sikap implisit justru sebaliknya, sangat variatif. Hal ini
membuktikan pelabelan disleksia dalam satu segi mungkin memudahkan guru dalam
membantu siswa mengatasi kesulitan keaksaraannya, namun di lain pihak dapat
menempatkan anak pada resiko stigmatisasi sebagaimana hasil penelitian
tersebut. Untuk meminimalisir stigmatisasi ini diharapkan program pelatihan
mauppun pendidikan guru memberitahu tentang bahaya stigmatisasi sehingga guru
dapat mengevaluasi sikapnya untuk lebih positif dan memiliki semangat membantu
siswa disleksia mengatasi kesulitan belajarnya
Artikel 7
Rohika, D.P, Marheni,
A.A.I.N, Stama, I.M.(2014) Pengaruh Pembelajaran Menulis Puisi dengan Teknik
Akrostik Terhadap Hasil Belajar Menullis Puisi dan Motivasi Berprestasi Siswa
Kelas V SD di Gugus 6 Kecamatan Gianyar. e-Journal Program Pascasarjana Undiksa,
4.Pp 1-9. Tersedia (on line):
Artikel ini memaparkan penelitian
pada sebuah sekolah di Bali tentang pembelajaran menulis puisi di SD.
Proses pembelajaran menulis puisi mulai dari menemukan topik, menggali pokok
fikiran, menata pokok pikiran, membentuk kerangka karangan, menulis draf awal,
merevisi, sampai menulis draf akhir puisi diasumsikan yang menurut para
peneliti ini hanyalah proses transfer ide guru kepada siswa, bukan berasal dari
ide dan kreatifitas siswa sendiri.
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara empiris melalui
penelitian tentang pengaruh penerapan pembelajaran menullis puisi dengan teknik
akrostik terhadap hasil belajar dan motivasi siswa. Penelitian ini dilakukan di
SD yang terdapat di gugus 6 kecamatan Gianyar, Bali pada siswa kelas V.
Model yang diterapkan dalam penelitian ini adalah model
pembelajaran menulis puisi dengan teknik akrostik. Teknik akrostik dianggap
mudah diterapkan pada siswa karena biasanya puisi akrostik membicarakan apa
yang menjadi susunan huruf yang membentuk sebuah kalimat terdapat di awal
baris. Bahkan terkadang isi puisi tersebut dapat terbaca langsung dari
judulnya.
Penelitian dilakukan dengan metode eksperimen. Metode menulis
puisi dengan teknik akrostik dilakukan di kelas eksperimen, dan ada kelas
kontrol sebagai pembandingnya. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik simple random sampling.
Hasil penelitian menunjukkan perbedaan proses dan hasil belajar
antara kelas yang melaksanakan pembelajaran dengan metode menulis puisi dengan
teknik akrostik yang meningkat signifikan dibandingkan pada kelas kontrol.
Artikel
8
Sumardi, dkk.(2011).
Pemanfaatan “SMS” Sebagai Media Pengajaran Membaca dan Menulis Permulaan di
Kelas Rendah. Jurnal Penelitian Pendidikan 12 (1), Pp. 26-33. ISBN 1412-565X.
Tersedia (on-line) : http://jurnal.upi.edu/446/view/1819/
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh terbatasnya media
pembelajaran di Sekolah Dasar dalam
membaca dan menulis permulaan di kelas rendah. Membaca dan Menulis
Permulaan (MMP) merupakan salah satu fokus kegiatan yang mengembangkan
kompetensi siswa untuk belajar bahasa Indonesia secara tertulis. Metode yang
sering digunakan adalah metode SAS (Struktural Analisis dan Sintesis) dengan
media papan flanel, kartu kata, dan huruf.
Pesatnya perkembangan alat komunikasi dan informasi menuntut guru
harus kreatif menggunakan media. Salah satunya alat komunikasi Telefon seluler
(phone cell) yang sudah sangat akrab
dengan siswa. Fitur yang dimanfaatkan di sini adalah layanan Short Message Service (SMS).
Rumusan penelitian difokuskan pada bagaimana pemanfaatan “SMS”
sebagai media pembelajaran membaca dan menulis permulaan di kelas rendah.
Penelitian ini relevan dengan program pengembangan pembelajaran bahasa
Indonesia di SD memanfaatkan media IT sebagai solusi alternatif dalam
peningkatan mutu pembelajaran.
Penelitian ini dilaksanakan dalam bentuk Penelitian Tindakan Kelas
(PTK) dari Kemmis dan Mc Taggart yang dilakukan secara kolaboratif dalam dua
siklus. Bahan ajar (materi pembelajaran) diinformasikan kepada siswa melalui
pesan SMS, kemudian siswa merespon sesuai pesan yang diterimanya. Keberhasilan
siswa dinilai berdasarkan respon siswa setelah menerima pesan SMS. Sampel
penelitian adalah siswa dan guru kelas I SDN Nyantong, Kota Tasikmalaya.
Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar
siswa setelah dilaksanakan pembelajaran MMP dengan media pesan SMS. Adanya
peningkatan signifikan dalam pencapaian KKM mengindikasikan keberhasilan penggunaan
media tersebut.
Artikel 9
Anwar, K. (2012). Kemampuan Membaca Pemahaman Dalam Pengembangan
Anak. Jurnal Pendidikan Dasar, 3 (5) Pp.212-216. ISSN :2086-7433. Tersedia
(on-line): http://journal.ppsunj.org/jpd/article/view/114
Artikel singkat ini merupakan studi literasi yang membahas tentang
membaca pemahaman di SD sebagai kemampuan yang hendaknya dimiliki anak untuk
membantunya meningkatkan skill
linguistiknya. Secara harfiah membaca pemahaman meilputi keterampilan sbb:
1.
Memahami ide utama paragraf
2.
Menemukan perincian yang
relevan untuk menjawab berbagai pertanyaan dan untuk mendukung sudut pandang
penulis
3.
Mengikuti urutan-urutan dan
prediksi lanjutan
4.
Mengikuti arahan, meliputi
urutan dan rincian.
Sedangkan keterampilan dalam membaca pemahaman kritis antara lain; a. Evaluasi kritis; kaitan,
perbedaan/perbandingan, b. Melihat hubungan tersirat (implisit); bujukan,
propaganda, c) mengidentifikasi hubungan sebab-akibat, d) menafsirkan dan
menjelaskan; menyimpulkan, mengorganisasikan, membuat sintesa/ide, e)
menggambarkan kesimpulan (generalisasi). Sedangkan membaca apresiasi lebih
menekankan pada membaca sebagai sebuah kesenangan, membaca untuk pemenuhan
aktualisasi diri.
Menurut penulis artikel ini keterampilan membaca merupakan 1) proses
aktif mencari makna, 2) proses konstruktif, 3) penerapan beragam pengetahuan,
4) sebagai proses strategis.
Artikel 10
Widuroyekti (2007). Pemanfaatan Cerita Anak Sebagai Alternatif
Bahan Pembelajaran Apresiasi Sastra di Sekolah Dasar. Interaksi; Jurnal
Kependidikan, 3.Pp 41-50. ISSN No : 1412-2952. Tersedia (on-line):
Artikel ini menyajikan pentingnya bahan pembelajaran yang sesuai
dengan karakteristik siswa SD dan memuat unsur-unsur sastra dalam pembelajaran
apresiasi sastra di SD.
Penulis memulai kajiannya dengan menguraikan latar belakang
sulitnya guru dalam memilih bahan ajar yang tepat untuk bahan ajar apresiasi
sastra dengan berbagai penyebabnya. Salah satunya adalah penyajian bahan ajar
berupa karya sastra yang sudah dipotong-potong sesukanya tanpa memerhatikan
kebermaknaan hubungan satu teks dengan bagian teks lainnya.
Apresiasi sastra termasuk ke dalam pembelajaran membaca pemahaman.
Berpijak pada taksonomi Smith, penulis meneguraikan kategori keterampilan
membaca pehamanan, yaitu: pehaman literal, interpretatif, dan kritis, serta
kreatif. Fungsi pembelajaran apresiasi sastra adalah;
1.
melatih kemampuan berbahasa,
2.
menambah pengetahuan tentang
pengalaman hidup manusia
3.
membantu pengembangan
kepribadian
4.
membantu pembentukan watak
5.
memberi rasa puas, aman, dan
nyaman melalui bacaan fiksi
6.
memperluas dimensi kehidupan
dengan pengalaman baru dan keluar sejenak dari realitas kehidupan.
Tujuan pembelajaran apresiasi sastra yaitu untuk membina
kesanggupan anak memahami, menikmati, dan menghargai suatu karya sastra. Bahan
ajar untuk apresiasi sastra anak bisa berupa cerita anak yang didapat dari
media massa. Untuk memilih bahan ajar, hendaknya guru memerhatikan
karakteristik cerita anak dengan baik, dari segi isi maupun bahasa yang
hendaknya memiliki nilai estetis, psikologis, ideologi, dan pedagogis.
BAB II
PEMBAHASAN
Pemerolehan
kemampuan berbahasa sudah dimiliki anak sejak usia bayi. Perkembangan bahasanya
dimulai dari mengenali perbedaan yang sangat kentara antara bunyi-bunyi bahasa,
menangis , mendekut, dan kemudian berceloteh di pertengahan tahun pertama
kehidupannya.
Pada
usia sekolah, perkembangan bahasa anak semakin terasah dengan mempelajari empat
keterampilan bahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Bila
dibandingkan dengan tiga kemampuan
berbahasa lainnya, kemampuan menulis merupakan yang paling sulit dikuasai
bahkan oleh native speaker, penutur
asli bahasa itu sendiri. Ini disebabkan kemampuan menulis menghendaki
penguasaan berbagai unsur kebahasaan dan unsur diluar bahasa itu sendiri yang
harus dirubah menjadi tulisan. Kedua unsur tersebut harus terpadu untuk
menghasilkan tulisan yang sistematis dan terpadu. ( Iskandarwassid, 2008:
248-251).
Menulis
naratif (narasi) berhubungan dengan pengisahan atau penceritaan yang menyajikan
beberapa peristiwa secara utuh dalam bentuk cerita. Unsur-unsur dari karangan
narasi adalah: 1) waktu, 2) motif, 3) konflik, 4) sudut pandang, dan 5) alur (
Enre, F.A. 1988: 165-171).
Artikel
Student-and
instruction-level Predictor of Narrative Writing in Third-grade Students ditulis Olinghouse, N.G dengan melakukan
penelitian pada siswa kelas 3SD untuk mengidentifikasi dan memprediksi kualitas
kemampuan menulis siswa dan melihat interaksinya dengan pembelajaran. Fokus
penelitian ini adalah untuk mementahkan pandangan (stereotip) guru yang selama
ini terlalu sibuk dengan pengukuran keterampilan transkripsi (tulisan tangan)
dibandingkan kualitas esensi dari karangan itu sendiri. Padahal, transkripsi
hanya satu dari sejumlah kriteria penilaian menulis narasi itu sendiri.
Sebenarnya
evaluasi terhadap kegiatan menulis memang sedikit sulit dilakukan. Penilaian
terhadap karangan bebas memiliki beberapa kelemahan pokok, yaitu rendahnya
kadar objektivitas. Bagaimanapun juga unsur subjektivitas penilai pasti
berpengaruh. Bahkan, jika karangan dinilai oleh dua orang penilai, skornya
tidak akan sama. Nurgiyantoro dalam (Enre, F. A. 1988: 250) berpendapat bahwa
“penilaian yang dilakukan terhaadap karangan siswa biasanya bersifat holistis,
impresif, dan selintas”. Maksudnya adalah
penilaian yang bersifat menyeluruh berdasarkan kesan yang diperoleh
penilai secara selintas. Untuk menghindari subjektifitas, penilaian karangan hendaknya memiliki
kriteria yang jelas sbb: 1) kualitas dan ruang lingkup isi, 2) organisasi dan
penyajian isi, 3) komposisi, 4) kohesi dan koherensi, 5) gaya dan bentuk
bahasa. Penilaian delapan kategori tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan
skala; misalnya 1-10, atau interval 1-5, Enre, F.A. (1988:250).
Artikel
kedua, Storybook Writing in First Grade benar-benar
menginspirasi untuk bisa dilaksanakan di
kelas 1 SD. Penelitian ini berhasil mementahkan anggapan umum dalam dunia
pendidikan bahwa siswa di kelas 1 SD belum bisa menulis cerita dalam bentuk
buku. Dilaksanakan di Israel, di kota Akra, Haifa yang terkenal dengan iklim
toleransi yang tinggi antara umat Yahudi, Kristen, dan Arab. Kondisi bilingual
siswa yang terbiasa berbahasa Ibrani dan bahasa Arab menjadi salah satu
tantangan tersendiri. Penulis berhasil membandingkan dua model dan pendekatan yang
berbeda untuk membantu siswa menulis buku ceritanya sendiri. Pandangan orang
Israel yang selama ini dibentuk oleh faham Zionisme, pengagungan ras Yahudi dan
pemisahan antara warga Yahudi Israel yang umumnya berasal dari Eropa Timur
(bekas Uni Soviet) dengan warga keturunan Arab Muslim sedikit banyak
mempengaruhi cara berpikir peneliti yang memandang penting memperlihatkan
superioritas gen Yahudi tersebut. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian
yang membanding-bandingkan antara skor nilai menulis siswa Yahudi dengan siswa
Arab yang rasanya tidak relevan dengan penelitian. Kemampuan berbahasa tidak hanya dipengaruhi
oleh faktor biologis (gen) saja tapi juga dipengaruhi oleh lingkungan.
Sebagaimana dijelaskan Santrock, J., W (2012:195), “bahwa perkembangan kosakata
anak memiliki kaitan dengan status sosioekonomi
keluarganya dan tipe percakapan yang diarahkan orang tua terhadap
anaknya.” , Siswa Arab yang hidup dalam garis menengah ke bawah di Israel
(karena diperlakukan sebagai warga kelas dua), tentu hidup dalam suasana
kekurangan sehingga terbatas kekayaan kosakatanya. Minimnya bahan bacaan,
fasilitas informasi dan tingkat pendidikan orang tuanya yang rendah juga
menjadi penyebab minimnya kemampuan berbahasa bila dibandingkan dengan orang
Yahudi Israel. Isu-isu marginalitas yang menyebabkan rendahnya kemampuan
berbahasa siswa dibahas Joyce, B, dkk.dalam buku Models of Teaching (2011:468), “...kita harus bisa mengajar dengan
sangat baik, dengan mengacuhkan status sosial ekonomi siswa dalam proses
pembelajaran”. Penelitian ini akan terasa tidak bias jika peneliti
memperhatikan hal ini dengan baik.
Pada artikel ketiga, Effective Reading and Writing Instruction :
A Focus Modelling yang merupakan artikel hasil studi literatur penulis
lebih banyak menggunakan kalimat yang bersifat persuasif. Penulis artikel ini
mencoba meyakinkan pembacanya tentang begitu pentingnya penggunaan sttategi
pemodelan (modelling) dalam pembelajaran membaca dan menulis. Regan dan
Barkeley menyarankan pembaca mencoba model SRSD dan STOP. Kedua model
dijabarkan dengan cukup detail. Namun penggunaan bahasa yang persuasif dalam
artikel ilmiah terasa sangat mengganggu. Begitu sulit, membutuhkan waktu yang
lama untuk menangkap apa yang ingin disampaikan pengarang karena bahsanya yang
berbelit-belit. Artikel ini, karena tidak berbasis riset dan gaya bahasanya
yang kurang bagus sangat membosaankan untuk dibaca dan ditelaah
Artikel berikutnya, Teacher Thoughts on
e-readers in The Elementary School Clasroom, membawa ide baru yang menyegarkan. Zipke, M.,
melakukan penelitian tentang pengaruh penggunaan e-Reader dalam pembelajaran di
SD. Ide penelitian tentang penggunaan e-Reader (Kindle) ini tergolong baru pada
masanya. Di tengah maraknya penggunaan tablet, menggunakan e-Reader dalam
pembelajaran bahasa sangat menarik untuk dibahas. Penggunaan teknologi dalam pembelajaran merupakan
kebutuhan. Pemanfatan teknologi dalam pembelajaran merupakan bagian tak
terpisahkan dari ilmu pengetahuan Mulyadiprana (tanpa tahun:33). Meski belum memperlihatkan hasil yang
signifikan, penelitian ini bisa menjadi batu loncatan untuk penelitian tentang
penggunaan teknologi terkini (gadget) dalam pembelajaran.
Pada artikel kelima, yang berjudul Defining
Dyslexia,
Tunmer
dan Greaney mencoba mendudukkan kembali konsep disleksia yang sudah dirumuskan
pemerintah Selandia Baru (dalam hal ini kementerian pendidikan) yang terlalu
menekankan pada pengertian disleksia dengan cakupan ketidakmampuan yang luas,
bahkan termasuk didalamnya kesulitan berhitung dan membaca notasi musik, yang
sunnguh sangat jauh dari konsep disleksia sebenarnya di lapangan . Pengertian
tersebut dirumuskan untuk kemudian dibuktikan melalui penelitian yang ternyata
membuktikan bahwa disleksia merupakan kesulitan belajar membaca (yang bersifat)
menetap, mencakup kesulitan mengenali kata, mengeja, dan mengkodekan kembali
bunyi bahasa dari huruf menjadi bunyi suara.
Vaughn,
S, dkk. (2011: 149), menjelaskan, “dyslexia
refers to severe difficulty in learning to read, particularly as it relates to
decoding and spelling...Dyscalculia refers to sever difficulty in learning
mathematical concepts and computations.”
Dari
penjelasan Vaughn, dkk. di atas dapat dilihat bahwa disleksia dan diskalkulia
adalah dua kesulitan belajar yaang berbeda. Hal ini dapat pula dibuktikan
dengan melihat hasil penelitian Tunmer & Greaney yang memperlihatkan bahwa
umumnya siswa disleksia tidak bermasalah dalam memahami pelajaraan matematika.
Meskipun tidak tertutup kemungkinaan, anak dengan disleksia ternyata juga
mengalami diskalkulia sekaligus.
Defenisi
lain tentang disleksia dapat kita lihat pada pengertian disleksia oleh
pemerintah AS tahun 2004 yang
diotorisasi ulang sebagai,
Seorang
anak dengan kesulitan belajar (learning disability) memiliki kesulitan dalam
belajar yang meliputi pemahaman atau menggunakan bahasa lisan maupun tulisan,
dan kesulitan tersebut terlihat dalam hal memdengar, berpikir, membaca,
menulis, dan mengeja...masalah alam belajar ini bukanlah akibat dari
keterbatasan visual, pendengaran, atau motorik; retardasi mental; gangguan
emosi; atau karena keterbatasan lingkungan, budaya, dan ekonomi.
Dari
pengetian di atas dan sebagaimana juga dibahas dalam artikel, antara kesulitan
belajar disleksia dengan kesulitan belajar yang bukan merupakan disleksia seperti sangatlah berbeda. Anak dengan
disleksia secara umum normal, tidak mengalami rendahnya IQ, masalah visual,
pendengaran, keterbelakaangan mental, dlsb.
Lissa
Weinstein, Ph.D dalam bukunya Living with Dyslexia, merumuskan pengertian
disleksia secara jelas sbb: “(merupakan) salah satu dari beberapa jenis
kesulitan belajar yang khas. Suatu gangguan spesifik berbasis bahasa yang
bersifat bawaan ditandai dengan kesulitan mengartikan satu kata tunggal (yang)
biasanya mencerminkan kemampuan pemrosesan fonologis yang tidak memadai, (yang
tidak berkaitan) dengan usia serta kemampuan kognitif akademis lainnya”
Judul
penelitian dan bahasan tentang mendefenisikan disleksia ini menimbulkan
pertanyaaan, seberapa pentingkah mendudukkan kembali pengertian disleksia
tersebut? Bukankah penelitian tentang teknik mengajar siswa disleksia yang
kreatif dan mudah dipahami siswa lebih menarik untuk dibahas?
Mendudukkan
konsep disleksia, dengan cara mngkoreksi kesalahan defenisi yang dicantumkan
oleh Kementerian Pendidikan sebenarnya penting. Kebijakan yang diambil oleh
kementerian pendididkan Selandia Baru tentu mengacu pada pengertian yang dibuat
tersebut. Kesalahan dalam mendefenisikan disleksia membuat kebijakan penanganan
disleksia akan menjadi sulit di lapangan.Koreksi atas kesalahan ini sangatlah
tepat.
Hal
yang mungkin terlalu sedikit dibahas dalam artikel, ini bahkan dianggap
sekunder defenition (tidak terlalu penting) adalah efek sosial dan psikologis
yang dialami anak disleksia. Wood, D, dkk. (2012: 23) menguraikan bahwa
Kesulitan
belajar dapat menghinggapi seseorang dalam kurun waktu yang lama..memengaruhi
banyak aspek kehidupan seseorang, baik itu di sekolah, pekerjaan, rutinitas
sehari-hari, kehidupan keluarga, atau bahkan terkadang dalam hubungan
persahabatan dan bermain..penderita menyatakan bahwa kesulitan ini berpengaruh
ada kebahagiaan mereka.
Banyak
selebritis dan bahkan ilmuwan, seperti Einstein, aktor Hollywood seperti Keanu
Reeves, Whoopy Goldberg, Tom Cruise, dan petinju legendaris dunia Mohammed
Ali, adalah penyandang disleksia. Mereka
menceritakan tekanan psikologis yang mereka alami
Sejak
kecil hingga beranjak dewasa. Namun dengan kegigihannya mereka berhasil
menggapai cita-citanya. Motivasi seperti ini sangat penting untuk disampaikan
pada anak dengan disleksia agar tidak berputus asa dalam menaklukkan kesulitan
belajar yang ia alami
.Artikel
keenam yang berjudul Teacher Attitudes Toward Dyslexia: Effects
on Teacher Expectations and the Academic Achievement of Students With Dyslexia., lebih fokus terhadap hubungan antara
ekspektasi guru yang positif terhadap siswa disleksia akan meningkatkan hasil
belajarnya.
Para
ahli perkembangan interaksi berpandangan bahwa biologi dan pengalaman sama-sama
berkontribusi terhadap perkembangan bahasa Berko Gleason (dalam Santrock, J. ,
W. , 2012: 198).Pengalaman belajar yang positif akan menambah semangat siswa
dalam mengatasi kesulitan belajar yang ia alami. Sebaliknya, pengalaman yang
tidak menyenangkan dalam belajar maupun terapi wicara akan mematikan semangat
siswa.
Vaughn,
dkk (2011: 147) memberi gambaran sebuah kelas yang mereka kunjungi dimana kedua
gurunya bekerjasama membuat perencanaan pembelajaran dan mendesain program
pendidikan untuk mendukung dua orang siswanya yaang tergolong memiliki
kesulitan belajar. Sikap positif seperti ini, dibarengi dengan pembelajaran
yang menyenangkan sangat membaantu siswa menemukan caranya sendiri mengatasi
kesulitan belajarnya. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan Wood, D. (2012:
55-60) tentang perlunya menumbuhkan rasa
percaya diri anak dan mampu membangun relasi yang sehat dengan orang lain.
Intervensi awal sejak dini diperlukan sebelum anak bersekolah, dan kemudian
menyadari bahwa ia memiliki ketidakmampuan yang kemudian memberi cap pada
dirinya sendiri kalau ia bodoh karena kesulitan belajar keaksaraan. Sebelum hal
itu terjadi membawa anak pada ahli terapi wicara profesional untuk
membantunya.Anak akan memiliki cara alternatif untuk belajar. Fleksibilitas
otak untuk mempelajari kemampuan baru ini merupakan hal terbesar dalam
tahun-tahun awal kehidupan anak, dan akan hilang setelah ia mengalami masa
pubertas.
Ada
banyak teknik pembelajaraan yang dapat digunakan untuk membantu anak dengan
kesulitan belajar, terutama disleksia, seperti;
1. Menyediakan
satu kerangka kerja untuk pembelajaran, yang menggunakan Advance Organizers
2. Menggunakan
pemikiran yang kuat dan percakapan interaktif, dengan metode Cognitive
Strategies.
3. Mengajar
menggunakan pengaturan dan pemantauan diri menggunakan Self Monitoring
4. Menggunakan
praktek latihan dan penerapan yang berkelanjutan
5. Menggunakan
alat belajar (media) dan alat bantu
6. Menyajikan
pembelajaran dengan dengan berbagai
cara. (Vaughn, dkk, 2011: 152-160).
Pelaksanaan
semua itu akan sia-sia jika guru sebelum melaksanakan pembelajaran sudah
memiliki ekspektasi yang rendah terhadap siswanya yang mengalami kesulitan
belajar. Pemberian motivasi hanya bisa diberikan oleh orang yang berpikiran
positif, untuk itu guru harus menghapus pemikiran kolot seperti di masa lalu
yang salah mengenali disleksia sebagai “kekurangan disebabkan rendahnya IQ”,
melainkan melaksanakan pembelajaran yang kreatif dengan berbagai langkah yang
menarik.
Artikel ketujuh merupakan hasil
penelitian tiga orang guru di Bali. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang
berjudul Pengaruh
Pembelajaran Menulis Puisi dengan Teknik Akrostik Terhadap Hasil Belajar
Menullis Puisi dan Motivasi Berprestasi Siswa Kelas V SD di Gugus 6 Kecamatan
Gianyar, ini sangat terasa aroma Class
Action Reserach-nya dari judulnya yang panjang. Peneliti menerapkan pembelaajaran menulis puisi dengan teknik
akrostik. Teknik inni dianggap mudah bagi siswa sehingga diharapkan mudah untuk
dialksanakan, berasal dari ide siswa sendiri, dan menyenangkan dipelajari.
Kekurangan dari artikel ini adalah tidak adanya tabel maupun grafik yang memperlihatkan
tentang hasil penelitian yang diperoleh. Hasil penelitian hanya dijeaskan dalam
bentuk deskripsi angka-angka sehingga kurang terasa menarik. Meski ruang
terbatas, penjelasaan yang akurat tentu membantu artikel terasa lebih
menggigit. Sama dengan artikel sebelumnya, artikel kedelapan merupakan
Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Dengan judul Pemanfaatan “SMS” Sebagai Media Pengajaran Membaca dan Menulis
Permulaan di Kelas Rendah, PTK yang dirancang oleh dosen UPI bapak Sumardi,
dkk.ini membawa ide menarik menggunakan
gadget sebagai media pembelajarannya. Sama dengan artikel sebelumnya
oleh Zipke, M. Yang berjudul Teacher Thoughts on e-readers
in The Elementary School Clasroom. Perbedaannya,
pada penelitian ini media yang digunakan adalah Cellphone (HP) yang sangat
akrab dengan siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwaa penggunaan fitur SMS
pada pembelajaran cukup berhasil
signifikan.
Artikel
kesembilan yang berjudul Kemampuan Membaca Pemahaman Dalam Pengembangan Anak. Jurnal
Pendidikan Dasar dan artikel kesepuluh, Kemampuan Membaca Pemahaman Dalam Pengembangan Anak. Jurnal
Pendidikan Dasar merupakan artikel yang
ditulis berdasarkan studi literasi. Pada artikel kesembilan penulis fokus membahas
tentang membaca intensif (membaca pehamn) yang umumnya diajarkan di kelas
tinggi sekolah dasar. Sedangkan artikel terakhir lahir berdasarkan kegelisahan
penulis akan minimnya sumber cerita sastra yang sesuai dan memuat kaedah sastra
yang diharapkan mampu menumbuhkan karakter baik dalaam diri anak. Membaca kedua
artikel ini meski sekarang ide ini
terasa sudah usang, tetapi menyadarkan dan membuka wawasan tentang bagaimana
semangatnya guru-guru pada beberapa windu yang lalu berjuang melahirkan ide
pembaharuan dalam bidang pendidikan di tengah minimnya fasilitas informasi dan
teknologi. Sebuah usaha yang patut diteladani.
KESIMPULAN
Membaca dan
menulis merupakan dua aspek penting dalam
keterampilan berbahasa.
Untuk
mencapai keberhasilan pembelajaran membaca dan menulis, berbagai penelitian dan
penerapan strategi belajar, model, metode, dan pendekatan telah dilakukan.
Pembaharuan dalam pembelajaran bahasa tersebut diantaranya berbagai penelitian
tentang pembelajaran membaca dan menulis yang efektif, penggunaan metode,
model, dan ide-ide yang baru daalam pembelajaran bahasa, termasuk penggunaan
teknologi IT, dan masalah-masalah yang dihadapi guru dalam pembelajaran
membaca, seperti siswa dengan disleksia, kesulitan membuaat media membaca
sastra yang sulit ditemukan , dll.
Beberapa dari strategi, model, maupun metode ada yang sudah dipraktikkan
di sekolah penulis. Beberapa lainnya menambah wawasan dan menjaddi ide untuk
melakukan penelitian dengan tema terkini tentang pembelajaran membaca dan
menulis di SD.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar