Jumat, 30 Januari 2015

Tugas Analisis Artikel Mata Kuliah Model-model Pembelajaran



BAB I
PENDAHULUAN

Artikel 1
Olinghouse, N.G.(2007). Student-and instruction-level Predictor of Narrative Writing in Third-grade Students, 21. Pp. 3-26..  DOI:10.1007/s11145-007-9062-1

Artikel ini membicarakan tentang penelitian tentang keterampilan menulis naratif siswa di kelas tiga SD di U.S. Penulis memandang penting penelitian ini karena rendahnya kemampuan menulis sebagian di U.S. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya sebagian siswa yang mengalami kesulitan menulis daripada membaca atau berhitung. Padahal kemampuan ini mutlak dibutuhkan saat dewasa, seperti saat  interview pekerjaan. Penelitian ini melihat korelasi antara kemampuan membaca, menulis dengan tulisan tangan, memahami ejaan (tanda baca), tata bahasa, dan kecerdasan intelektual (IQ), serta jenis kelamin.
Tujuan dari penelitian difokuskan pada mengidentifikasi dan memprediksi kualitas kemampuan menulis siswa serta interaksi antara siswa dengan karakteristik pembelajaran.
Peneliti mengkritisi pandangan keterampilan transkripsi yang sebenarnya membatasi kemampuan menulis siswa  dimana siswa diharuskan mengembangkan keterampilan transkripsi berupa menulis dengaan tulisan tangan daan memahami ejaan. Untuk itulah peneliti ingin melihat hubungan antara berbagai kemampuan tersebut dengan kemampuan menulis siswa menggunakan pendekatan bivariat. Penggunaan data bivariat ini dimaksudkan untuk mengekplorasi kemampuan memprediksi setiap variabel (dalam hal ini adalah kemampuan membaca, menulis dengan tangan, memahami ejaan, tingkat IQ, dan gender).
Penelitian ini melibatkan 13 orang guru perempuan dengan siswa-siswanya selama musim semi (empat bulan). Para guru ini rata-rata telah mengajar selama tujuh belas tahun di SD. Prosedur untuk penilaian pada penilaian menulis narasi dan menulis tulisan tangan difokuskan pada komposisi tulisan, ejaan, dan kelancaran menulis tulisan tangan. Hasil penelitian menunjukkan siswa dengan nilai lebih tinggi didasarkan pada kulaitas tulisan mereka, selain itu kemampuan intelektual (IQ) berpengaruh positif terhadap peningkatan kualitas tersebut, sedangkan gender memperlihatkan perbedaan signifikan antara kedua jenis kelamin (pria dan wanita)

 Artikel 2
Hertz-Lazarowitz, R.(2004). Storybook Writing in First Grade. Reading and Writing Journal, 17, Pp 267-299, Retrieved from http://link.springer.com/article/10.1023/B%3AREAD.0000017689.04775.b7

Penelitian ini mengambil judul yang “eye catching”, tentang kemampuan siswa menulis  buku ceritanya sendiri di kelas satu SD. Penulis menentang pemahaman umum dalam dunia pendidikan yang berpendapat bahwa menulis cerita hanya bisa dilakukan di kelas tinggi.
Penelitian ini dilakukan di kota Akra, Haifa, Israel. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan satu set berbasiskan teori untuk mengkategorikan kemampuan menulis buku cerita anak-anak dalam dua bahasa. Yaitu bahasa Arab dan Ibrani. Dimana kondisi etnis demografis Israel dengan mayoritas Yahudi dan warga keturunan Arab. Penelitian di lakukan secara terpisah pada sekolah Yahudi dan sekolah Arab di kelas satu SD.
Penulis membandingkan penggunaan metode lama dalam pembelajaran menulis, yaitu Active Learning (AL) dengan metode baru Success For All (SFA). Dengan jumlah siswa yang berpartisipasi 505 orang dimana tiga kelas menerapkan metode AL, dan satu kelas menerapkan metode SFA.
Pada penelitian ini anak diarahkan untuk membuat buku cerita mereka dengan bantuan gambar yang kemudian dilengkapi dengan cerita yang mereka tulis berdasarkan gambar yang kemudian dibentuk menjadi buklet.
Hasil yang didapat adalah ,anak-anak di akhir kelas satu bisa menulis buku cerita yang menarik. Selain itu metode SFA berpotensi meningkatkan pengembangan literasi pada siswa Ibrani maupun Arab, namun tidak berpengaruh pada siswa dengan kemampuan rendah ataupun siswa disabilitas. Perbedaan mencolok juga terlihat pada hasil tulisan anak Yahudi dengan Arab, dimana hasil belajar siswa Yahudi jauh di atas hasil belajar siswa Arab.

Artikel 3
Regan, K.& Berkeley, S.(2011). Effective Reading and Writing Instruction : A Focus Modelling. Intervention in School and Clinic, 47 (5) Pp.276-282. DOI : 10.1177/1053451211430117.

Artikel ini memaparkan pentingnya penggunaan strategi Modelling (pemodelan) dalam pembelajaran membaca dan menulis efektif. Strategi ini dipercaya membantu siswa memahami konsep, strategi, dan keterampilan baru. Regan dan Barkeley ini mencoba meyakinkan pembacanya dengan langkah yang begitu persuasif tentang penggunaan  modelling dalam pembelajaran membaca dan menulis.
Penulis menjelaskan  berbagai strategi modelling yang dapat digunakan dalam pembelajaran membaca dan menulis, diantaranya, SRSD (Self – Regulated Strategy Development Model) yang cocok digunakan untuk pemodelan dalam merevisi.  Untuk sekolah dasar dapat digunakan model STOP (Suspend Judgement, Take a Side, Organize Ideas, and Plan more as you write). Model STOP bahkan memperlihatkan peningkatan berarti pada siswa dengan kesulitan belajar. Di sini penulis menjabarkan kedua proses pembelajaran dengan detail dan jelas.
Penulis memaparkan pentingnya sebuah pemodelan  yang mengandung aspek spesifik,  jelas dan tegas, serta fleksibel  dengan bukti tertulis yang lengkap. Kejelasan di atas dimaksudkan untuk memudahkan siswa mengambil manfaat dari pembelajaran. Siswa butuh kejelasan informasi pembelajaran untuk memudahkan ia dalam mempraktikkanya.

Artikel 4
Zipke, M. (2012). Teacher Thoughts on e-readers in The Elementary School Clasroom. Educ Inf Technol, 18. Pp 421-441. DOI 10.1007/s10639-012-9188-x

Pesatnya perkembangan teknologi informasi memberi ruang untuk inovasi dalam bidang pendidikan. Zipke melakukan penelitian tentang dampak penggunaan e-book reader (pembaca buku elektronik) di U.S dengan merek jual Kindle yang diproduksi dan dijual oleh toko online Amazon.com.
Tujuan penelitian ini adalah untuk membahas potensi kegunaan e-Reader di sekolah dasar. e-Reader yang digunakan ini diperoleh melalui hibah dari pemerintah daerah. Penggunaan e-Reader yang meluas di U.S dan mini tablet yang merata di berbagai negara seharusnya menambah semangat penggunaannya untuk kemajuan dunia pendidikan. Kelebihan gadget Kindle antara lain, memiliki kamus dan fungsi text to-speech. Selain itu, harga buku elektronik umumnya lebih terjangkau daripada buku biasa yang diproduksi dari kertas. Lebih mudah dibawa karena tipis, tetapi kapasitas penyimpanannya yang besar , sehingga baik guru maupun siswa tidak perlu berat-berat lagi membawa buku. Kelemahannya, alat elektronik kadang gampang rusak dan sering menjadi objek pencurian.
Rumusan masalah dalam penelitian ini difokuskan pada  peran yang dapat dilakukan  e-Reader di SD dan apa keuntungan dan kerugian bagi guru dalam penggunaan teknologi ini. Sampel yang digunakan adalah guru-guru serta  murid-murid peneliti sendiri dari kelas 2 sampai kelas 7 dan 8 yang dipilih mewakili berbagai latar belakang, anak perkotaan dan pinggiran kota yang berbeda dalam  kesempatan akses ke penggunaan peralatan IT. Metode yang digunakan berupa recording interview dan pengisian kuisioner.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, meskipun sebagian guru masih meragukan efektivitas penggunaan e-Reader di SD, dengan pertimbangan mahalnya harga perawatan dan suku cadangnya, kerusakan yang mungkin timbul bagi anak-anak dengan kesulitan mengontrol tingkah laku, dan aplikasi yang terkadang belum memenuhi apa yang diharapkan, tapi e-Reader  tampaknya siap untuk menggantikan buku tradisional yang dijual di toko buku. Penggunaan e-Reader di SD sangat membantu siswa yang memang suka membaca dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya.

Artikel 5
Tunmer, W & Greaney, K. (2010). Defining Dyslexia. Journal of Learning Disabilities, 43 (3), pp.229-243. DOI: 10.1177/0022219409345009

Artikel ini menggali kembali konsep kesuitan membaca (disleksia) yang  berbeda dari defenisi disleksia yang ditetapkan pemerintah Selandia Baru. Defenisi disleksia yang mereka rumuskan berdasarkan realitas di lapangan yang selaras dengan pengertian disleksia menurut Asosiasi Disleksia Internasional. 
Beberapa teori telah salah mengasumsikan bahwa keterampilan  membaca dapat dilihat dari penguasaan siswa  akan kata-kata yang bisa diprediksi ketika membaca sebuah bacaan yang menggunakan sumber beragam. Padahal, memusatkan perhatian terlalu banyak terhadap penguasaan kata-kata cenderung membuat siswa gagal karena mengalihkan perhatiannya dari apa yang seharusnya dipelajari dari bacaan.
Kedua peneliti menggunakan Running Record sebagai alat utama untuk melihat sejauh mana kemampuan membaca siswa. Running Record merupakan  salinan dari bacaan paragraf yang salah ketika siswa membaca secara lisan. Kesalahan ini bisa berupa beberapa konsonan yang mirip, maupun bunyi katanya.
Peneliti menjelaskan bagian-bagian dari defenisi disleksia, yaitu kesulitan belajar membaca yang menetap. Kesulitan yang dimaksud di sini adalah;
1.      Kesulitan Mengenali Kata
2.      Kesulitan Mengeja
3.      Kesulitan Mengodekan Bunyi Bahasa dimana kemampuan untuk mengubah huruf dan pola huruf menjadi bentuk bunyi suara.
Peneliti meluruskan pandangan kesulitan belajar membaca yang “menetap” tersebut. Secara tradisional orang beranggapan, anak-anak disleksia merupakan anak-anak dengan kemampuan IQ yang rendah. Hal ini menimbulkan persepsi negatif terhadap dirinya sendiri, sehingga merasa malas untuk berusaha keras agar bisa membaca seperti siswa normal yang lain. Sehingga bukan saja mengalami kurang latihan dalam membaca, siswa bahkan menolak mempelajari materi yang terasa sukar bagi mereka. Hal ini sering terjadi pada anak laki-laki. Penelitian sebelumnya dari para ahli memperlihatkan bahwa tes kemampuan intelektual (IQ) tidak relevan digunakan untuk mendefenisikan disleksia.
Sekolah hendaknya memahami mana yang tergolong disleksia, dan mana yang bukan. Yang bukan termasuk kriteria disleksia adalah;
1.      masalah sulit memfokuskan perhatian,
2.      keterbelakangan mental
3.      kerusakan bahasa lisan
4.      gangguan emosi atau gangguan tingkah laku
5.      kesulitan mendengar atau masalah ketajaman penglihatan
6.      kelainan pada syaraf seperti autis atau kurang waras sejak kecil, atau menderita sakit yang sangat parah.
Perbedaan mendasar antara siswa disleksia dengan yang bukan disleksia adalah, siswa mengerti dan dapat menjawab dengan baik bila teks dibacakan, tetapi mengalami kesulitan jika mengkodekan kembali dalam bentuk tulisan. Secara umum anak-anak ini memiliki kecerdasan yang normal.
Peneliti menggunakan model SVR (Simple View of Reading) yang dikembangkan Gough dan Tunmer (1986). Yang diukur dari model ini adalah kemampuan siswa dalam Reading Comprehension (membaca pemahaman, Decoding Skill (kemmapuan mengkodekan kembali huruf), dan Oral Language Comprehension (kemampuan pemahaman bahasa lisan). Selain itu juga menggunakan model RTI untuk langkah preventif dan mengidentifikasi kesulitan belajar membaca. Perbedaannya dengan SVR adalah model RTI mencakup prosedur identifikasi kesulitan belajar membaca dan memantau kemajuan (progres) perkembangan bahasa anak.
Permasalahan utama disleksia selain uraian di atas menurut peneliti ini adalah masalah fonologis, merubah aksara menjadi suara. Defenisi ini cocok dengan defenisi disleksia menurut Asosiasi Disleksia Internasional.


Artikel 6
Hormstra, L., Denessen, E., Bakker, J.,Bergh, Lvd., Voeten, M (2010). Teacher Attitudes Toward Dyslexia: Effects on Teacher Expectations and the Academic Achievement of Students With Dyslexia, Journal of Learning Disabilities, 43 (6), pp 515-529. DOI:10. 1177/0022219409355479

Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian tentang efek sikap guru terhadap pencapaian hasil belajar siswa dengan ketidakmampuan belajar keaksaraan (disleksia) di Belanda yang sekolah  di sekolah umum (inklusi). Penelitian ini difokuskan pada sikap guru terhadap siswa disleksia dan hubungannya dengan prestasi belajarnya.
Sejarah penelitian tentang ekspektasi guru memperlihatkan korelasi positif antara sikap guru yang penuh ekspektasi terhadap prestasi siswa. Ekspektasi yang rendah terhadap siswa dengan label kesulitan belajar keaksaraan atau disleksia dan stigmatisasi atau pelabelan stereotip kelompok orang memungkinkan guru menaruh ekspektasi atau harapan yang rendah terhadap siswa disleksia. Hal ini disebabkan penilaian yang terlihat dari tugas menulis maupun tugas-tugas skolastik lainnya.
Penelitian ini dilakukan dengan melibatkan guru-guru dari daerah tengah dan selatan Belanda. Sampel terdiri atas 30 orang guru dengan 307 siswa, dimana 40 orang dinilai mengalami disleksia, dan sisanya siswa dengan kemampuan belajar biasa. 8 orang dari siswa disleksia diidentifikasi mengalami gaangguan sikap/perilaku.
Hal-hal yang diukur dalam  penelitian ini adalah, 1) sikap guru. Untuk mengukur sikap guru, peneliti menggunakan Self Report. Pengukuran difokuskan pada sikap  atau tindakan eksplisit dan implisit guru terhadap siswa disleksia. Sikap eksplisit guru dilihat dari jawabannya atas kuisioner yang secara lugas menggambarkan perlakuan/sikap guru dalam menghadapi siswa disleksia. Sedangkan kuisioner untuk mengukur sikap implisit guru, dengan pilihan jawabannya lebih disesuaikan agar apa yang hendak diukur tidak terlalu mencolok. 2) Ekspektasi guru. Untuk mengukur hal ini guru mengisi lembar evaluasi tentang karakteristik akademis siswa inklusinya. 3) Pengukuran prestasi siswa untuk melihat dependen maupun independensi siswa. Peengukuran dependen menggunakaan evaluasi bebas dari guru, sedangkan untuk yang independen  menggunakan test dari Dtch National Institue for Educational Measurements (CITO). Variabel kontrol selain jenis kelamin adalah tingkat pendidikan orang tua siswa.
Hasil penelitian menunjukkan secara signifikan anak-anak dengan label disleksia rata-rata diberi nilai prestasi yang rendah oleh guru-gurunya. Hal ini terlihat dari tugas menulis dan tugas mengeja, tetapi tidak terlihat pada tugas matematika. Sedangkan hasil pengukuran sikap eksplisit guru terhadap siswa disleksia menunjukkan asumsi dan sikap guru positif terhadap siswa disleksia. Namun dalam pengkukuran sikap implisit justru sebaliknya, sangat variatif. Hal ini membuktikan pelabelan disleksia dalam satu segi mungkin memudahkan guru dalam membantu siswa mengatasi kesulitan keaksaraannya, namun di lain pihak dapat menempatkan anak pada resiko stigmatisasi sebagaimana hasil penelitian tersebut. Untuk meminimalisir stigmatisasi ini diharapkan program pelatihan mauppun pendidikan guru memberitahu tentang bahaya stigmatisasi sehingga guru dapat mengevaluasi sikapnya untuk lebih positif dan memiliki semangat membantu siswa disleksia mengatasi kesulitan belajarnya
        
Artikel 7
Rohika, D.P, Marheni, A.A.I.N, Stama, I.M.(2014) Pengaruh Pembelajaran Menulis Puisi dengan Teknik Akrostik Terhadap Hasil Belajar Menullis Puisi dan Motivasi Berprestasi Siswa Kelas V SD di Gugus 6 Kecamatan Gianyar. e-Journal Program Pascasarjana Undiksa, 4.Pp 1-9. Tersedia (on line):

Artikel ini memaparkan penelitian  pada sebuah sekolah di Bali tentang pembelajaran menulis puisi di SD. Proses pembelajaran menulis puisi mulai dari menemukan topik, menggali pokok fikiran, menata pokok pikiran, membentuk kerangka karangan, menulis draf awal, merevisi, sampai menulis draf akhir puisi diasumsikan yang menurut para peneliti ini hanyalah proses transfer ide guru kepada siswa, bukan berasal dari ide dan kreatifitas siswa sendiri.
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara empiris melalui penelitian tentang pengaruh penerapan pembelajaran menullis puisi dengan teknik akrostik terhadap hasil belajar dan motivasi siswa. Penelitian ini dilakukan di SD yang terdapat di gugus 6 kecamatan Gianyar, Bali pada siswa kelas V.
Model yang diterapkan dalam penelitian ini adalah model pembelajaran menulis puisi dengan teknik akrostik. Teknik akrostik dianggap mudah diterapkan pada siswa karena biasanya puisi akrostik membicarakan apa yang menjadi susunan huruf yang membentuk sebuah kalimat terdapat di awal baris. Bahkan terkadang isi puisi tersebut dapat terbaca langsung dari judulnya.
Penelitian dilakukan dengan metode eksperimen. Metode menulis puisi dengan teknik akrostik dilakukan di kelas eksperimen, dan ada kelas kontrol sebagai pembandingnya. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik simple random sampling.
Hasil penelitian menunjukkan perbedaan proses dan hasil belajar antara kelas yang melaksanakan pembelajaran dengan metode menulis puisi dengan teknik akrostik yang meningkat signifikan dibandingkan pada kelas kontrol.

Artikel 8

Sumardi, dkk.(2011). Pemanfaatan “SMS” Sebagai Media Pengajaran Membaca dan Menulis Permulaan di Kelas Rendah. Jurnal Penelitian Pendidikan 12 (1), Pp. 26-33. ISBN 1412-565X. Tersedia (on-line) : http://jurnal.upi.edu/446/view/1819/

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh terbatasnya media pembelajaran di Sekolah Dasar dalam  membaca dan menulis permulaan di kelas rendah. Membaca dan Menulis Permulaan (MMP) merupakan salah satu fokus kegiatan yang mengembangkan kompetensi siswa untuk belajar bahasa Indonesia secara tertulis. Metode yang sering digunakan adalah metode SAS (Struktural Analisis dan Sintesis) dengan media papan flanel, kartu kata, dan huruf.
Pesatnya perkembangan alat komunikasi dan informasi menuntut guru harus kreatif menggunakan media. Salah satunya alat komunikasi Telefon seluler (phone cell) yang sudah sangat akrab dengan siswa. Fitur yang dimanfaatkan di sini adalah layanan Short Message Service (SMS).
Rumusan penelitian difokuskan pada bagaimana pemanfaatan “SMS” sebagai media pembelajaran membaca dan menulis permulaan di kelas rendah. Penelitian ini relevan dengan program pengembangan pembelajaran bahasa Indonesia di SD memanfaatkan media IT sebagai solusi alternatif dalam peningkatan mutu pembelajaran.
Penelitian ini dilaksanakan dalam bentuk Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dari Kemmis dan Mc Taggart yang dilakukan secara kolaboratif dalam dua siklus. Bahan ajar (materi pembelajaran) diinformasikan kepada siswa melalui pesan SMS, kemudian siswa merespon sesuai pesan yang diterimanya. Keberhasilan siswa dinilai berdasarkan respon siswa setelah menerima pesan SMS. Sampel penelitian adalah siswa dan guru kelas I SDN Nyantong, Kota Tasikmalaya.
Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar siswa setelah dilaksanakan pembelajaran MMP dengan media pesan SMS. Adanya peningkatan signifikan dalam pencapaian KKM mengindikasikan keberhasilan penggunaan media tersebut.
 
Artikel 9
Anwar, K. (2012). Kemampuan Membaca Pemahaman Dalam Pengembangan Anak. Jurnal Pendidikan Dasar, 3 (5) Pp.212-216. ISSN :2086-7433. Tersedia (on-line): http://journal.ppsunj.org/jpd/article/view/114

Artikel singkat ini merupakan studi literasi yang membahas tentang membaca pemahaman di SD sebagai kemampuan yang hendaknya dimiliki anak untuk membantunya meningkatkan skill linguistiknya. Secara harfiah membaca pemahaman meilputi keterampilan sbb:
1.      Memahami ide utama paragraf
2.      Menemukan perincian yang relevan untuk menjawab berbagai pertanyaan dan untuk mendukung sudut pandang penulis
3.      Mengikuti urutan-urutan dan prediksi lanjutan
4.      Mengikuti arahan, meliputi urutan dan rincian.
Sedangkan keterampilan dalam membaca pemahaman kritis  antara lain; a. Evaluasi kritis; kaitan, perbedaan/perbandingan, b. Melihat hubungan tersirat (implisit); bujukan, propaganda, c) mengidentifikasi hubungan sebab-akibat, d) menafsirkan dan menjelaskan; menyimpulkan, mengorganisasikan, membuat sintesa/ide, e) menggambarkan kesimpulan (generalisasi). Sedangkan membaca apresiasi lebih menekankan pada membaca sebagai sebuah kesenangan, membaca untuk pemenuhan aktualisasi diri.
Menurut penulis artikel ini keterampilan membaca merupakan 1) proses aktif mencari makna, 2) proses konstruktif, 3) penerapan beragam pengetahuan, 4) sebagai proses strategis.

Artikel 10
Widuroyekti (2007). Pemanfaatan Cerita Anak Sebagai Alternatif Bahan Pembelajaran Apresiasi Sastra di Sekolah Dasar. Interaksi; Jurnal Kependidikan, 3.Pp 41-50. ISSN No : 1412-2952. Tersedia (on-line):

Artikel ini menyajikan pentingnya bahan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa SD dan memuat unsur-unsur sastra dalam pembelajaran apresiasi sastra di SD.
Penulis memulai kajiannya dengan menguraikan latar belakang sulitnya guru dalam memilih bahan ajar yang tepat untuk bahan ajar apresiasi sastra dengan berbagai penyebabnya. Salah satunya adalah penyajian bahan ajar berupa karya sastra yang sudah dipotong-potong sesukanya tanpa memerhatikan kebermaknaan hubungan satu teks dengan bagian teks lainnya.
Apresiasi sastra termasuk ke dalam pembelajaran membaca pemahaman. Berpijak pada taksonomi Smith, penulis meneguraikan kategori keterampilan membaca pehamanan, yaitu: pehaman literal, interpretatif, dan kritis, serta kreatif. Fungsi pembelajaran apresiasi sastra adalah;
1.      melatih kemampuan berbahasa,
2.      menambah pengetahuan tentang pengalaman hidup manusia
3.      membantu pengembangan kepribadian
4.      membantu pembentukan watak
5.      memberi rasa puas, aman, dan nyaman melalui bacaan fiksi
6.      memperluas dimensi kehidupan dengan pengalaman baru dan keluar sejenak dari realitas kehidupan.
Tujuan pembelajaran apresiasi sastra yaitu untuk membina kesanggupan anak memahami, menikmati, dan menghargai suatu karya sastra. Bahan ajar untuk apresiasi sastra anak bisa berupa cerita anak yang didapat dari media massa. Untuk memilih bahan ajar, hendaknya guru memerhatikan karakteristik cerita anak dengan baik, dari segi isi maupun bahasa yang hendaknya memiliki nilai estetis, psikologis, ideologi, dan pedagogis.

BAB II
PEMBAHASAN

Pemerolehan kemampuan berbahasa sudah dimiliki anak sejak usia bayi. Perkembangan bahasanya dimulai dari mengenali perbedaan yang sangat kentara antara bunyi-bunyi bahasa, menangis , mendekut, dan kemudian berceloteh di pertengahan tahun pertama kehidupannya.
Pada usia sekolah, perkembangan bahasa anak semakin terasah dengan mempelajari empat keterampilan bahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Bila dibandingkan dengan  tiga kemampuan berbahasa lainnya, kemampuan menulis merupakan yang paling sulit dikuasai bahkan oleh native speaker, penutur asli bahasa itu sendiri. Ini disebabkan kemampuan menulis menghendaki penguasaan berbagai unsur kebahasaan dan unsur diluar bahasa itu sendiri yang harus dirubah menjadi tulisan. Kedua unsur tersebut harus terpadu untuk menghasilkan tulisan yang sistematis dan terpadu. ( Iskandarwassid, 2008: 248-251).
Menulis naratif (narasi) berhubungan dengan pengisahan atau penceritaan yang menyajikan beberapa peristiwa secara utuh dalam bentuk cerita. Unsur-unsur dari karangan narasi adalah: 1) waktu, 2) motif, 3) konflik, 4) sudut pandang, dan 5) alur ( Enre, F.A. 1988: 165-171).
Artikel Student-and instruction-level Predictor of Narrative Writing in Third-grade Students  ditulis Olinghouse, N.G dengan melakukan penelitian pada siswa kelas 3SD untuk mengidentifikasi dan memprediksi kualitas kemampuan menulis siswa dan melihat interaksinya dengan pembelajaran. Fokus penelitian ini adalah untuk mementahkan pandangan (stereotip) guru yang selama ini terlalu sibuk dengan pengukuran keterampilan transkripsi (tulisan tangan) dibandingkan kualitas esensi dari karangan itu sendiri. Padahal, transkripsi hanya satu dari sejumlah kriteria penilaian menulis narasi itu sendiri.
Sebenarnya evaluasi terhadap kegiatan menulis memang sedikit sulit dilakukan. Penilaian terhadap karangan bebas memiliki beberapa kelemahan pokok, yaitu rendahnya kadar objektivitas. Bagaimanapun juga unsur subjektivitas penilai pasti berpengaruh. Bahkan, jika karangan dinilai oleh dua orang penilai, skornya tidak akan sama. Nurgiyantoro dalam (Enre, F. A. 1988: 250) berpendapat bahwa “penilaian yang dilakukan terhaadap karangan siswa biasanya bersifat holistis, impresif, dan selintas”. Maksudnya adalah  penilaian yang bersifat menyeluruh berdasarkan kesan yang diperoleh penilai secara selintas. Untuk menghindari subjektifitas,  penilaian karangan hendaknya memiliki kriteria yang jelas sbb: 1) kualitas dan ruang lingkup isi, 2) organisasi dan penyajian isi, 3) komposisi, 4) kohesi dan koherensi, 5) gaya dan bentuk bahasa. Penilaian delapan kategori tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan skala; misalnya 1-10, atau interval 1-5, Enre, F.A. (1988:250).
Artikel kedua, Storybook Writing in First Grade benar-benar menginspirasi  untuk bisa dilaksanakan di kelas 1 SD. Penelitian ini berhasil mementahkan anggapan umum dalam dunia pendidikan bahwa siswa di kelas 1 SD belum bisa menulis cerita dalam bentuk buku. Dilaksanakan di Israel, di kota Akra, Haifa yang terkenal dengan iklim toleransi yang tinggi antara umat Yahudi, Kristen, dan Arab. Kondisi bilingual siswa yang terbiasa berbahasa Ibrani dan bahasa Arab menjadi salah satu tantangan tersendiri. Penulis berhasil membandingkan dua model dan pendekatan yang berbeda untuk membantu siswa menulis buku ceritanya sendiri. Pandangan orang Israel yang selama ini dibentuk oleh faham Zionisme, pengagungan ras Yahudi dan pemisahan antara warga Yahudi Israel yang umumnya berasal dari Eropa Timur (bekas Uni Soviet) dengan warga keturunan Arab Muslim sedikit banyak mempengaruhi cara berpikir peneliti yang memandang penting memperlihatkan superioritas gen Yahudi tersebut. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang membanding-bandingkan antara skor nilai menulis siswa Yahudi dengan siswa Arab yang rasanya tidak relevan dengan penelitian.  Kemampuan berbahasa tidak hanya dipengaruhi oleh faktor biologis (gen) saja tapi juga dipengaruhi oleh lingkungan. Sebagaimana dijelaskan Santrock, J., W (2012:195), “bahwa perkembangan kosakata anak memiliki kaitan dengan status sosioekonomi  keluarganya dan tipe percakapan yang diarahkan orang tua terhadap anaknya.” , Siswa Arab yang hidup dalam garis menengah ke bawah di Israel (karena diperlakukan sebagai warga kelas dua), tentu hidup dalam suasana kekurangan sehingga terbatas kekayaan kosakatanya. Minimnya bahan bacaan, fasilitas informasi dan tingkat pendidikan orang tuanya yang rendah juga menjadi penyebab minimnya kemampuan berbahasa bila dibandingkan dengan orang Yahudi Israel. Isu-isu marginalitas yang menyebabkan rendahnya kemampuan berbahasa siswa dibahas Joyce, B, dkk.dalam buku Models of Teaching (2011:468), “...kita harus bisa mengajar dengan sangat baik, dengan mengacuhkan status sosial ekonomi siswa dalam proses pembelajaran”. Penelitian ini akan terasa tidak bias jika peneliti memperhatikan hal ini dengan baik.
Pada artikel ketiga,  Effective Reading and Writing Instruction : A Focus Modelling yang merupakan artikel hasil studi literatur penulis lebih banyak menggunakan kalimat yang bersifat persuasif. Penulis artikel ini mencoba meyakinkan pembacanya tentang begitu pentingnya penggunaan sttategi pemodelan (modelling) dalam pembelajaran membaca dan menulis. Regan dan Barkeley menyarankan pembaca mencoba model SRSD dan STOP. Kedua model dijabarkan dengan cukup detail. Namun penggunaan bahasa yang persuasif dalam artikel ilmiah terasa sangat mengganggu. Begitu sulit, membutuhkan waktu yang lama untuk menangkap apa yang ingin disampaikan pengarang karena bahsanya yang berbelit-belit. Artikel ini, karena tidak berbasis riset dan gaya bahasanya yang kurang bagus sangat membosaankan untuk dibaca dan ditelaah
 Artikel berikutnya, Teacher Thoughts on e-readers in The Elementary School Clasroom,  membawa ide baru yang menyegarkan. Zipke, M., melakukan penelitian tentang pengaruh penggunaan e-Reader dalam pembelajaran di SD. Ide penelitian tentang penggunaan e-Reader (Kindle) ini tergolong baru pada masanya. Di tengah maraknya penggunaan tablet, menggunakan e-Reader dalam pembelajaran bahasa sangat menarik untuk dibahas. Penggunaan  teknologi dalam pembelajaran merupakan kebutuhan. Pemanfatan teknologi dalam pembelajaran merupakan bagian tak terpisahkan dari ilmu pengetahuan Mulyadiprana (tanpa tahun:33).  Meski belum memperlihatkan hasil yang signifikan, penelitian ini bisa menjadi batu loncatan untuk penelitian tentang penggunaan teknologi terkini (gadget) dalam pembelajaran.
Pada artikel kelima,  yang berjudul Defining Dyslexia, Tunmer dan Greaney mencoba mendudukkan kembali konsep disleksia yang sudah dirumuskan pemerintah Selandia Baru (dalam hal ini kementerian pendidikan) yang terlalu menekankan pada pengertian disleksia dengan cakupan ketidakmampuan yang luas, bahkan termasuk didalamnya kesulitan berhitung dan membaca notasi musik, yang sunnguh sangat jauh dari konsep disleksia sebenarnya di lapangan . Pengertian tersebut dirumuskan untuk kemudian dibuktikan melalui penelitian yang ternyata membuktikan bahwa disleksia merupakan kesulitan belajar membaca (yang bersifat) menetap, mencakup kesulitan mengenali kata, mengeja, dan mengkodekan kembali bunyi bahasa dari huruf menjadi bunyi suara.
Vaughn, S, dkk. (2011: 149), menjelaskan, “dyslexia refers to severe difficulty in learning to read, particularly as it relates to decoding and spelling...Dyscalculia refers to sever difficulty in learning mathematical concepts and computations.”
Dari penjelasan Vaughn, dkk. di atas dapat dilihat bahwa disleksia dan diskalkulia adalah dua kesulitan belajar yaang berbeda. Hal ini dapat pula dibuktikan dengan melihat hasil penelitian Tunmer & Greaney yang memperlihatkan bahwa umumnya siswa disleksia tidak bermasalah dalam memahami pelajaraan matematika. Meskipun tidak tertutup kemungkinaan, anak dengan disleksia ternyata juga mengalami diskalkulia sekaligus.
Defenisi lain tentang disleksia dapat kita lihat pada pengertian disleksia oleh pemerintah AS tahun 2004 yang  diotorisasi ulang sebagai,
Seorang anak dengan kesulitan belajar (learning disability) memiliki kesulitan dalam belajar yang meliputi pemahaman atau menggunakan bahasa lisan maupun tulisan, dan kesulitan tersebut terlihat dalam hal memdengar, berpikir, membaca, menulis, dan mengeja...masalah alam belajar ini bukanlah akibat dari keterbatasan visual, pendengaran, atau motorik; retardasi mental; gangguan emosi; atau karena keterbatasan lingkungan, budaya, dan ekonomi.
Dari pengetian di atas dan sebagaimana juga dibahas dalam artikel, antara kesulitan belajar disleksia dengan kesulitan belajar yang bukan merupakan disleksia  seperti sangatlah berbeda. Anak dengan disleksia secara umum normal, tidak mengalami rendahnya IQ, masalah visual, pendengaran, keterbelakaangan mental, dlsb.
Lissa Weinstein, Ph.D dalam bukunya Living with Dyslexia, merumuskan pengertian disleksia secara jelas sbb: “(merupakan) salah satu dari beberapa jenis kesulitan belajar yang khas. Suatu gangguan spesifik berbasis bahasa yang bersifat bawaan ditandai dengan kesulitan mengartikan satu kata tunggal (yang) biasanya mencerminkan kemampuan pemrosesan fonologis yang tidak memadai, (yang tidak berkaitan) dengan usia serta kemampuan kognitif akademis lainnya”
Judul penelitian dan bahasan tentang mendefenisikan disleksia ini menimbulkan pertanyaaan, seberapa pentingkah mendudukkan kembali pengertian disleksia tersebut? Bukankah penelitian tentang teknik mengajar siswa disleksia yang kreatif dan mudah dipahami siswa lebih menarik untuk dibahas?
Mendudukkan konsep disleksia, dengan cara mngkoreksi kesalahan defenisi yang dicantumkan oleh Kementerian Pendidikan sebenarnya penting. Kebijakan yang diambil oleh kementerian pendididkan Selandia Baru tentu mengacu pada pengertian yang dibuat tersebut. Kesalahan dalam mendefenisikan disleksia membuat kebijakan penanganan disleksia akan menjadi sulit di lapangan.Koreksi atas kesalahan ini sangatlah tepat.
Hal yang mungkin terlalu sedikit dibahas dalam artikel, ini bahkan dianggap sekunder defenition (tidak terlalu penting) adalah efek sosial dan psikologis yang dialami anak disleksia. Wood, D, dkk. (2012: 23) menguraikan bahwa 
Kesulitan belajar dapat menghinggapi seseorang dalam kurun waktu yang lama..memengaruhi banyak aspek kehidupan seseorang, baik itu di sekolah, pekerjaan, rutinitas sehari-hari, kehidupan keluarga, atau bahkan terkadang dalam hubungan persahabatan dan bermain..penderita menyatakan bahwa kesulitan ini berpengaruh ada kebahagiaan mereka.
Banyak selebritis dan bahkan ilmuwan, seperti Einstein, aktor Hollywood seperti Keanu Reeves, Whoopy Goldberg, Tom Cruise, dan petinju legendaris dunia Mohammed Ali,  adalah penyandang disleksia. Mereka menceritakan tekanan psikologis yang mereka alami
Sejak kecil hingga beranjak dewasa. Namun dengan kegigihannya mereka berhasil menggapai cita-citanya. Motivasi seperti ini sangat penting untuk disampaikan pada anak dengan disleksia agar tidak berputus asa dalam menaklukkan kesulitan belajar yang ia alami
.Artikel keenam yang berjudul Teacher Attitudes Toward Dyslexia: Effects on Teacher Expectations and the Academic Achievement of Students With Dyslexia., lebih fokus terhadap hubungan antara ekspektasi guru yang positif terhadap siswa disleksia akan meningkatkan hasil belajarnya.
Para ahli perkembangan interaksi berpandangan bahwa biologi dan pengalaman sama-sama berkontribusi terhadap perkembangan bahasa Berko Gleason (dalam Santrock, J. , W. , 2012: 198).Pengalaman belajar yang positif akan menambah semangat siswa dalam mengatasi kesulitan belajar yang ia alami. Sebaliknya, pengalaman yang tidak menyenangkan dalam belajar maupun terapi wicara akan mematikan semangat siswa.
Vaughn, dkk (2011: 147) memberi gambaran sebuah kelas yang mereka kunjungi dimana kedua gurunya bekerjasama membuat perencanaan pembelajaran dan mendesain program pendidikan untuk mendukung dua orang siswanya yaang tergolong memiliki kesulitan belajar. Sikap positif seperti ini, dibarengi dengan pembelajaran yang menyenangkan sangat membaantu siswa menemukan caranya sendiri mengatasi kesulitan belajarnya. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan Wood, D. (2012: 55-60)  tentang perlunya menumbuhkan rasa percaya diri anak dan mampu membangun relasi yang sehat dengan orang lain. Intervensi awal sejak dini diperlukan sebelum anak bersekolah, dan kemudian menyadari bahwa ia memiliki ketidakmampuan yang kemudian memberi cap pada dirinya sendiri kalau ia bodoh karena kesulitan belajar keaksaraan. Sebelum hal itu terjadi membawa anak pada ahli terapi wicara profesional untuk membantunya.Anak akan memiliki cara alternatif untuk belajar. Fleksibilitas otak untuk mempelajari kemampuan baru ini merupakan hal terbesar dalam tahun-tahun awal kehidupan anak, dan akan hilang setelah ia mengalami masa pubertas.
Ada banyak teknik pembelajaraan yang dapat digunakan untuk membantu anak dengan kesulitan belajar, terutama disleksia, seperti;
1.      Menyediakan satu kerangka kerja untuk pembelajaran, yang menggunakan Advance Organizers
2.      Menggunakan pemikiran yang kuat dan percakapan interaktif, dengan metode Cognitive Strategies.
3.      Mengajar menggunakan pengaturan dan pemantauan diri menggunakan Self Monitoring
4.      Menggunakan praktek latihan dan penerapan yang berkelanjutan
5.      Menggunakan alat belajar (media) dan alat bantu
6.      Menyajikan pembelajaran dengan dengan berbagai  cara. (Vaughn, dkk, 2011: 152-160).
Pelaksanaan semua itu akan sia-sia jika guru sebelum melaksanakan pembelajaran sudah memiliki ekspektasi yang rendah terhadap siswanya yang mengalami kesulitan belajar. Pemberian motivasi hanya bisa diberikan oleh orang yang berpikiran positif, untuk itu guru harus menghapus pemikiran kolot seperti di masa lalu yang salah mengenali disleksia sebagai “kekurangan disebabkan rendahnya IQ”, melainkan melaksanakan pembelajaran yang kreatif dengan berbagai langkah yang menarik.
            Artikel ketujuh merupakan hasil penelitian tiga orang guru di Bali. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang berjudul Pengaruh Pembelajaran Menulis Puisi dengan Teknik Akrostik Terhadap Hasil Belajar Menullis Puisi dan Motivasi Berprestasi Siswa Kelas V SD di Gugus 6 Kecamatan Gianyar, ini sangat terasa aroma Class Action Reserach-nya dari judulnya yang panjang. Peneliti menerapkan  pembelaajaran menulis puisi dengan teknik akrostik. Teknik inni dianggap mudah bagi siswa sehingga diharapkan mudah untuk dialksanakan, berasal dari ide siswa sendiri, dan menyenangkan dipelajari. Kekurangan dari artikel ini adalah tidak adanya tabel maupun grafik yang memperlihatkan tentang hasil penelitian yang diperoleh. Hasil penelitian hanya dijeaskan dalam bentuk deskripsi angka-angka sehingga kurang terasa menarik. Meski ruang terbatas, penjelasaan yang akurat tentu membantu artikel terasa lebih menggigit. Sama dengan artikel sebelumnya, artikel kedelapan merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Dengan judul Pemanfaatan “SMS” Sebagai Media Pengajaran Membaca dan Menulis Permulaan di Kelas Rendah, PTK yang dirancang oleh dosen UPI bapak Sumardi, dkk.ini membawa ide menarik menggunakan  gadget sebagai media pembelajarannya. Sama dengan artikel sebelumnya oleh  Zipke, M. Yang berjudul Teacher Thoughts on e-readers in The Elementary School Clasroom. Perbedaannya, pada penelitian ini media yang digunakan adalah Cellphone (HP) yang sangat akrab dengan siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwaa penggunaan fitur SMS pada pembelajaran  cukup berhasil signifikan.
Artikel kesembilan yang berjudul Kemampuan Membaca Pemahaman Dalam Pengembangan Anak. Jurnal Pendidikan Dasar dan artikel  kesepuluh, Kemampuan Membaca Pemahaman Dalam Pengembangan Anak. Jurnal Pendidikan Dasar merupakan artikel yang ditulis berdasarkan studi literasi. Pada artikel kesembilan penulis fokus membahas tentang membaca intensif (membaca pehamn) yang umumnya diajarkan di kelas tinggi sekolah dasar. Sedangkan artikel terakhir lahir berdasarkan kegelisahan penulis akan minimnya sumber cerita sastra yang sesuai dan memuat kaedah sastra yang diharapkan mampu menumbuhkan karakter baik dalaam diri anak. Membaca kedua artikel ini  meski sekarang ide ini terasa sudah usang, tetapi menyadarkan dan membuka wawasan tentang bagaimana semangatnya guru-guru pada beberapa windu yang lalu berjuang melahirkan ide pembaharuan dalam bidang pendidikan di tengah minimnya fasilitas informasi dan teknologi. Sebuah usaha yang patut diteladani.
 

KESIMPULAN

            Membaca dan menulis merupakan dua aspek penting dalam  keterampilan berbahasa.
Untuk mencapai keberhasilan pembelajaran membaca dan menulis, berbagai penelitian dan penerapan strategi belajar, model, metode, dan pendekatan telah dilakukan. Pembaharuan dalam pembelajaran bahasa tersebut diantaranya berbagai penelitian tentang pembelajaran membaca dan menulis yang efektif, penggunaan metode, model, dan ide-ide yang baru daalam pembelajaran bahasa, termasuk penggunaan teknologi IT, dan masalah-masalah yang dihadapi guru dalam pembelajaran membaca, seperti siswa dengan disleksia, kesulitan membuaat media membaca sastra yang sulit ditemukan , dll.  Beberapa dari strategi, model, maupun metode ada yang sudah dipraktikkan di sekolah penulis. Beberapa lainnya menambah wawasan dan menjaddi ide untuk melakukan penelitian dengan tema terkini tentang pembelajaran membaca dan menulis di SD.




DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Salah dengan Sistem Pendidikan Kita?

Pertanyaan ini selalu hadir dari waktu ke waktu. Dari satu rezim ke rezim yang lain. Dari satu kurikulum kepada kurikulum yang baru. Pertany...