Rabu, 04 Maret 2015

Dyslexia, Kesulitan Membaca pada Siswa, Respons Orang Tua dan Guru yang Seharusnya







Setiap orang tua menginginkan anaknya tumbuh secara normal. Menjadi anak yang cerdas di sekolah, soleh  akhlak perilakunya, dan pandai bergaul di tengah masyarakat. Tetapi dalam perkembangannya, beberapa anak memiliki hambatan. Generalisasi bahwa  anak yang mengalami kesulitan belajar disebabkan oleh kurangnya kemampuan intelektual anak tidaklah benar. Sebagian mengalami kesulitan tersebut karena ada masalah dalam mengintegrasikan informasi dari beberapa area otak atau gangguan kecil pada struktur dan fungsi otak (Santrock, 2012 : 324).
Salah satu kesulitan belajar yang dialami anak adalah disleksia (dyslexia). Shaywitz & Sahywitz, 2007 (dalam Santrock, 2012 : 324) menjelaskan 80 persen anak-anak dengan kesulitan belajar bermasalah dengan membaca. Meski penyebab utamanya sampai saat ini belum ditentukan, pemerintah berbagai negara telah melakukan program intervensi untuk membantu anak-anak dengan kesulitan belajar membaca.
Di bawah ini ada dua artikel yang membahas tentang disleksia, baik dari segi pendefenisian maupun pandangan guru terhadap disleksia itu sendiri.

Artikel pertama.
Tunmer, W & Greaney, K. (2010). Defining Dyslexia. Journal of Learning Disabilities, 43 (3), pp.229-243. DOI: 10.1177/0022219409345009

Artikel ini menggali kembali konsep Disleksia yang  berbeda dari defenisi disleksia yang ditetapkan pemerintah Selandia Baru. Defenisi disleksia yang mereka rumuskan berdasarkan realitas di lapangan yang selaras dengan pengertian disleksia menurut Asosiasi Disleksia Internasional.  
Beberapa teori telah salah mengasumsikan bahwa keterampilan  membaca dapat dilihat dari penguasaan siswa  akan kata-kata yang bisa diprediksi ketika membaca sebuah bacaan yang menggunakan sumber beragam. Padahal, memusatkan perhatian terlalu banyak terhadap penguasaan kata-kata cenderung membuat siswa gagal karena mengalihkan perhatiannya dari apa yang seharusnya dipelajari dari bacaan.
Kedua peneliti menggunakan Running Record sebagai alat utama untuk melihat sejauh mana kemampuan membaca siswa. Running Record merupakan  salinan dari bacaan paragraf yang salah ketika siswa membaca secara lisan. Kesalahan ini bisa berupa beberapa konsonan yang mirip, maupun bunyi katanya.
Peneliti menjelaskan bagian-bagian dari defenisi disleksia, yaitu kesulitan belajar membaca yang menetap. Kesulitan yang dimaksud di sini adalah;
1.      Kesulitan Mengenali Kata
2.      Kesulitan Mengeja
3.     Kesulitan Mengodekan Bunyi Bahasa dimana kemampuan untuk mengubah huruf dan pola huruf menjadi bentuk bunyi suara.
Peneliti meluruskan pandangan kesulitan belajar membaca yang “menetap” tersebut. Secara tradisional orang beranggapan, anak-anak disleksia merupakan anak-anak dengan kemampuan IQ yang rendah. Hal ini menimbulkan persepsi negatif terhadap dirinya sendiri, sehingga merasa malas untuk berusaha keras agar bisa membaca seperti siswa normal yang lain. Sehingga bukan saja mengalami kurang latihan dalam membaca, siswa bahkan menolak mempelajari materi yang terasa sukar bagi mereka. Hal ini sering terjadi pada anak laki-laki. Penelitian sebelumnya dari para ahli memperlihatkan bahwa tes kemampuan intelektual (IQ) tidak relevan digunakan untuk mendefenisikan disleksia.
Sekolah hendaknya memahami mana yang tergolong disleksia, dan mana yang bukan. Yang bukan termasuk kriteria disleksia adalah;
1.      masalah sulit memfokuskan perhatian,
2.      keterbelakangan mental
3.      kerusakan bahasa lisan
4.      gangguan emosi atau gangguan tingkah laku
5.      kesulitan mendengar atau masalah ketajaman penglihatan
6.   kelainan pada syaraf seperti autis atau kurang waras sejak kecil, atau menderita sakit yang sangat parah.
Perbedaan mendasar antara siswa disleksia dengan yang bukan disleksia adalah, siswa mengerti dan dapat menjawab dengan baik bila teks dibacakan, tetapi mengalami kesulitan jika mengkodekan kembali dalam bentuk tulisan. Secara umum anak-anak ini memiliki kecerdasan yang normal.
Peneliti menggunakan model SVR (Simple View of Reading) yang dikembangkan Gough dan Tunmer (1986). Yang diukur dari model ini adalah kemampuan siswa dalam Reading Comprehension (membaca pemahaman, Decoding Skill (kemmapuan mengkodekan kembali huruf), dan Oral Language Comprehension (kemampuan pemahaman bahasa lisan). Selain itu juga menggunakan model RTI untuk langkah preventif dan mengidentifikasi kesulitan belajar membaca. Perbedaannya dengan SVR adalah model RTI mencakup prosedur identifikasi kesulitan belajar membaca dan memantau kemajuan (progres) perkembangan bahasa anak.
Permasalahan utama disleksia selain uraian di atas menurut peneliti ini adalah masalah fonologis, merubah aksara menjadi suara. Defenisi ini cocok dengan defenisi disleksia menurut Asosiasi Disleksia Internasional.                         

Artikel Kedua
Hormstra, L., Denessen, E., Bakker, J.,Bergh, Lvd., Voeten, M (2010). Teacher Attitudes Toward Dyslexia: Effects on Teacher Expectations and the Academic Achievement of Students With Dyslexia, Journal of Learning Disabilities, 43 (6), pp 515-529. DOI:10. 1177/0022219409355479

Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian tentang efek sikap guru terhadap pencapaian hasil belajar siswa dengan ketidakmampuan belajar keaksaraan (disleksia) di Belanda yang sekolah  di sekolah umum (inklusi). Penelitian ini difokuskan pada sikap guru terhadap siswa disleksia dan hubungannya dengan prestasi belajarnya.
Sejarah penelitian tentang ekspektasi guru memperlihatkan korelasi positif antara sikap guru yang penuh ekspektasi terhadap prestasi siswa. Ekspektasi yang rendah terhadap siswa dengan label kesulitan belajar keaksaraan atau disleksia dan stigmatisasi atau pelabelan stereotip kelompok orang memungkinkan guru menaruh ekspektasi atau harapan yang rendah terhadap siswa disleksia. Hal ini disebabkan penilaian yang terlihat dari tugas menulis maupun tugas-tugas skolastik lainnya.
Penelitian ini dilakukan dengan melibatkan guru-guru dari daerah tengah dan selatan Belanda. Sampel terdiri atas 30 orang guru dengan 307 siswa, dimana 40 orang dinilai mengalami disleksia, dan sisanya siswa dengan kemampuan belajar biasa. 8 orang dari siswa disleksia diidentifikasi mengalami gaangguan sikap/perilaku.
Hal-hal yang diukur dalam penelitian ini adalah, 1) sikap guru. Untuk mengukur sikap guru, peneliti menggunakan Self Report. Pengukuran difokuskan pada sikap  atau tindakan eksplisit dan implisit guru terhadap siswa disleksia. Sikap eksplisit guru dilihat dari jawabannya atas kuisioner yang secara lugas menggambarkan perlakuan/sikap guru dalam menghadapi siswa disleksia. Sedangkan kuisioner untuk mengukur sikap implisit guru, dengan pilihan jawabannya lebih disesuaikan agar apa yang hendak diukur tidak terlalu mencolok. 2) Ekspektasi guru. Untuk mengukur hal ini guru mengisi lembar evaluasi tentang karakteristik akademis siswa inklusinya. 3) Pengukuran prestasi siswa untuk melihat dependen maupun independensi siswa. Peengukuran dependen menggunakaan evaluasi bebas dari guru, sedangkan untuk yang independen  menggunakan test dari Dtch National Institue for Educational Measurements (CITO). Variabel kontrol selain jenis kelamin adalah tingkat pendidikan orang tua siswa.
Hasil penelitiaan menunjukkan secara signifikan anak-anak dengan label disleksia rata-rata diberi nilai prestasi yang rendah oleh guru-gurunya. Hal ini terlihat dari tugas menulis dan tugas mengeja, tetapi tidak terlihat pada tugas matematika. Sedangkan hasil pengukuran sikap eksplisit guru terhadap siswa disleksia menunjukkan asumsi dan sikap guru positif terhadap siswa disleksia. Namun dalam pengkukuran sikap implisit justru sebaliknya, sangat variatif. Hal ini membuktikan pelabelan disleksia dalam satu segi mungkin memudahkan guru dalam membantu siswa mengatasi kesulitan keaksaraannya, namun di lain pihak dapat menempatkan anak pada resiko stigmatisasi sebagaimana hasil penelitian tersebut. Untuk meminimalisir stigmatisasi ini diharapkan program pelatihan mauppun pendidikan guru memberitahu tentang bahaya stigmatisasi sehingga guru dapat mengevaluasi sikapnya untuk lebih positif dan memiliki semangat membantu siswa disleksia mengatasi kesulitan belajarnya

 DISKUSI

Pemerolehan kemampuan berbahasa sudah dimiliki anak sejak usia bayi. Perkembangan bahasanya dimulai dari mengenali perbedaan yang sangat kentara antara bunyi-bunyi bahasa, menangis , mendekut, dan kemudian berceloteh di pertengahan tahun pertama kehidupannya.
Pada usia sekolah, perkembangan bahasa anak semakin terasah dengan mempelajari huruf sebagai lambang bunyi bahasa. Kesulitan anak dalam memahami bunyi bahasa, mengenali huruf, kalimat, dan membacanya kembali disebut dengan kesluitan belajar keaksaraan atau disleksia.
Artikel Defining Dyslexia, mencoba mendudukkan kembali konsep disleksia yang sudah dirumuskan pemerintah Selandia Baru (dalam hal ini kementerian pendidikan) yang terlalu menekankan pada pengertian disleksia dengan cakupan ketidakmampuan yang luas, bahkan termasuk didalamnya kesulitan berhitung dan membaca notasi musik, yang sunnguh sangat jauh dari konsep disleksia sebenarnya di lapangan . Pengertian tersebut dirumuskan untuk kemudian dibuktikan melalui penelitian yang ternyata membuktikan bahwa disleksia merupakan kesulitan belajar membaca (yang bersifat) menetap, mencakup kesulitan mengenali kata, mengeja, dan mengkodekan kembali bunyi bahasa dari huruf menjadi bunyi suara.
Vaughn, S, dkk. (2011: 149), menjelaskan, “dyslexia refers to severe difficulty in learning to read, particularly as it relates to decoding and spelling...Dyscalculia refers to sever difficulty in learning mathematical concepts and computations.”
Dari penjelasan Vaughn, dkk. di atas dapat dilihat bahwa disleksia dan diskalkulia adalah dua kesulitan belajar yaang berbeda. Hal ini dapat pula dibuktikan dengan melihat hasil penelitian Tunmer & Greaney yang memperlihatkan bahwa umumnya siswa disleksia tidak bermasalah dalam memahami pelajaraan matematika. Meskipun tidak tertutup kemungkinaan, anak dengan disleksia ternyata juga mengalami diskalkulia sekaligus.
Defenisi lain tentang disleksia dapat kita lihat pada pengertian disleksia oleh pemerintah AS tahun 2004 yang  diotorisasi ulang sebagai,
Seorang anak dengan kesulitan belajar (learning disability) memiliki kesulitan dalam belajar yang meliputi pemahaman atau menggunakan bahasa lisan maupun tulisan, dan kesulitan tersebut terlihat dalam hal memdengar, berpikir, membaca, menulis, dan mengeja...masalah alam belajar ini bukanlah akibat dari keterbatasan visual, pendengaran, atau motorik; retardasi mental; gangguan emosi; atau karena keterbatasan lingkungan, budaya, dan ekonomi.
Dari pengetian di atas dan sebagaimana juga dibahas dalam artikel, antara kesulitan belajar disleksia dengan kesulitan belajar yang bukan merupakan disleksia  seperti sangatlah berbeda. Anak dengan disleksia secara umum normal, tidak mengalami rendahnya IQ, masalah visual, pendengaran, keterbelakaangan mental, dlsb.
Lissa Weinstein, Ph.D dalam bukunya Living with Dyslexia, merumuskan pengertian disleksia secara jelas sbb: “(merupakan) salah satu dari beberapa jenis kesulitan belajar yang khas. Suatu gangguan spesifik berbasis bahasa yang bersifat bawaan ditandai dengan kesulitan mengartikan satu kata tunggal (yang) biasanya mencerminkan kemampuan pemrosesan fonologis yang tidak memadai, (yang tidak berkaitan) dengan usia serta kemampuan kognitif akademis lainnya”
Judul penelitian dan bahasan tentang mendefenisikan disleksia ini menimbulkan pertanyaaan, seberapa pentingkah mendudukkan kembali pengertian disleksia tersebut? Bukankah penelitian tentang teknik mengajar siswa disleksia yang kreatif dan mudah dipahami siswa lebih menarik untuk dibahas?
Mendudukkan konsep disleksia, dengan cara mngoreksi kesalahan defenisi yang dicantumkan oleh Kementerian Pendidikan sebenarnya penting. Kebijakan yang diambil oleh kementerian pendididkan Selandia Baru tentu mengacu pada pengertian yang dibuat tersebut. Kesalahan dalam mendefenisikan disleksia membuat kebijakan penanganan disleksia akan menjadi sulit di lapangan.Koreksi atas kesalahan ini sangatlah tepat.
Hal yang mungkin terlalu sedikit dibahas dalam artikel, ini bahkan dianggap sekunder defenition (tidak terlalu penting) adalah efek sosial dan psikologis yang dialami anak disleksia. Wood, D, dkk. (2012: 23) menguraikan bahwa 
Kesulitan belajar dapat menghinggapi seseorang dalam kurun waktu yang lama..memengaruhi banyak aspek kehidupan seseorang, baik itu di sekolah, pekerjaan, rutinitas sehari-hari, kehidupan keluarga, atau bahkan terkadang dalam hubungan persahabatan dan bermain..penderita menyatakan bahwa kesulitan ini berpengaruh ada kebahagiaan mereka.
Banyak selebritis dan bahkan ilmuwan, seperti Einstein, aktor Hollywood seperti Keanu Reeves, Whoopy Goldberg, Tom Cruise, dan petinju legendaris dunia Mohammed Ali,  adalah penyandang disleksia. Mereka menceritakan tekanan psikologis yang mereka alami
Sejak kecil hingga beranjak dewasa. Namun dengan kegigihannya mereka berhasil menggapai cita-citanya. Motivasi seperti ini sangat penting untuk disampaikan pada anak dengan disleksia agar tidak berputus asa dalam menaklukkan kesulitan belajar yang ia alami.
Pada artikel kedua yang berjudul Teacher Attitudes Toward Dyslexia: Effects on Teacher Expectations and the Academic Achievement of Students With Dyslexia., lebih fokus terhadap hubungan antara ekspektasi guru yang positif terhadap siswa disleksia akan meningkatkan hasil belajarnya.
Para ahli perkembangan interaksi berpandangan bahwa biologi dan pengalaman sama-sama berkontribusi terhadap perkembangan bahasa Berko Gleason (dalam Santrock, J. , W. , 2012: 198).Pengalaman belajar yang positif akan menambah semangat siswa dalam mengatasi kesulitan belajar yang ia alami. Sebaliknya, pengalaman yang tidak menyenangkan dalam belajar maupun terapi wicara akan mematikan semangat siswa.
Vaughn, dkk (2011: 147) memberi gambaran sebuah kelas yang mereka kunjungi dimana kedua gurunya bekerjasama membuat perencanaan pembelajaran dan mendesain program pendidikan untuk mendukung dua orang siswanya yaang tergolong memiliki kesulitan belajar. Sikap positif seperti ini, dibarengi dengan pembelajaran yang menyenangkan sangat membaantu siswa menemukan caranya sendiri mengatasi kesulitan belajarnya. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan Wood, D. (2012: 55-60)  tentang perlunya menumbuhkan rasa percaya diri anak dan mampu membangun relasi yang sehat dengan orang lain. Intervensi awal sejak dini diperlukan sebelum anak bersekolah, dan kemudian menyadari bahwa ia memiliki ketidakmampuan yang kemudian memberi cap pada dirinya sendiri kalau ia bodoh karena kesulitan belajar keaksaraan. Sebelum hal itu terjadi membawa anak pada ahli terapi wicara profesional untuk membantunya.Anak akan memiliki cara alternatif untuk belajar. Fleksibilitas otak untuk mempelajari kemampuan baru ini merupakan hal terbesar dalam tahun-tahun awal kehidupan anak, dan akan hilang setelah ia mengalami masa pubertas.
Ada banyak teknik pembelajaraan yang dapat digunakan untuk membantu anak dengan kesulitan belajar, terutama disleksia, seperti;
1.      Menyediakan satu kerangka kerja untuk pembelajaran, yang menggunakan Advance Organizers
2.      Menggunakan pemikiran yang kuat dan percakapan interaktif, dengan metode Cognitive Strategies.
3.      Mengajar menggunakan pengaturan dan pemantauan diri menggunakan Self Monitoring
4.      Menggunakan praktek latihan dan penerapan yang berkelanjutan
5.      Menggunakan alat belajar (media) dan alat bantu
6.      Menyajikan pembelajaran dengan dengan berbagai  cara. (Vaughn, dkk, 2011: 152-160).
Pelaksanaan semua itu akan sia-sia jika guru sebelum melaksanakan pembelajaran sudah memiliki ekspektasi yang rendah terhadap siswanya yang mengalami kesulitan belajar. Pemberian motivasi hanya bisa diberikan oleh orang yang berpikiran positif, untuk itu guru harus menghapus pemikiran kolot seperti di masa lalu yang salah mengenali disleksia sebagai “kekurangan disebabkan rendahnya IQ”, melainkan melaksanakan pembelajaran yang kreatif dengan berbagai langkah yang menarik.
 KONKLUSI

Disleksia merupakan salah satu Learning Disabilities (kesulitan belajar) yang merupakan bawaan berkaitan dengan kesulitan mengenali kata, mengeja, dan mengkodekan kembali bunyi bahasa dari huruf menjadi bunyi suara yang bukan  akibat dari keterbatasan visual, pendengaran, atau motorik; retardasi mental; gangguan emosi; usia serta kemampuan kognitif akademis lainnya. Pengenalan tanda-tanda disleksia sejak dini akan membantu anak secara cepat mendapatkan intervensi sehingga tidak mengalami pengalaman buruk di sekolah, dan pada usia pubertas ia sudah mampu mengatasi kesulitan belajarnya dengan teknik yang ia ciptakan sendiri. Ekspektasi yang positif dari lingkungan, baik keluarga, guru, akan membantu siswa meningkatkan semangat belajarnya, sebaliknya sikap negatif seperti pemberian label atau stigma terhadap siswa disleksia justru akan mematikan potensinyaa sendiri.

 BIBLIOGRAFI
 
Hormstra, L., Denessen, E., Bakker, J.,Bergh, Lvd., Voeten, M (2010). Teacher Attitudes Toward Dyslexia: Effects on Teacher Expectations and the Academic Achievement of Students With Dyslexia, Journal of Learning Disabilities, 43 (6), pp 515-529. DOI:10. 1177/0022219409355479 (on-line) tersedia di http://ldx.sagepub.com/content/43/3/229
Santrock, John W. (2012). Perkembangan Masa Hidup Edisi Ketigabelas  Jilid  I (Life Span Development - 13th ed).  Jakarta: Penerbit Erlangga
Tunmer, W & Greaney, K. (2010). Defining Dyslexia. Journal of Learning Disabilities, 43 (3), pp.229-243.DOI:10.1177/0022219409345009. (on-line) tersedia di http://ldx.sagepub.com/content/43/6/515
Vaughn, S, et all. (2011). Teaching Students Who are Exceptional, Diverse, and At Risk in the General Education Classroom- 5th ed. Boston : Pearson.
Weinstein, L. (2007). Living with Dyslexia: Pergulatan Ibu Melepaskan Putranya dari Derita Kesulitan Belajar. Bandung : Qanita
Wood, D., dkk. (2012). Kiat Mengatasi Gaangguan Belajar. Jogjakarta : Katahati.







Jumat, 27 Februari 2015

Hakikat Kebenaran

Kebenaran adalah sebuah keniscayaan bagi manusia. kebenaran menurut pepatah nenek moyang orang Minang, ia berdiri sendiri, berasal dari Yang Satu..jika boleh dianalogikan, ia ibarat semangkuk es tebak di warung RM.Padang. Lidah kita akan dimanjakan oleh berbagai campuran rasa, terkadang bertemu dengan lembutnya agar, warna-warni kolang-kaling yang keras kalau digigit, bahkan kacang tanah di dalamnya, selain roti tawar. Penuh kejutan, penuh tebakan. Maka jangan memandangnya hanya berisi agar saja, atau dibilang rasa manis dari tebunya saja, ada santan dan susu yang jika tak jeli sulit memisahkan rasanya.
Maka kebenaran itu relatif, dari sudut mana kita memandangnya. Benar dalam kacamata kita, berdasarkan pengalaman inderawi kita, belum tentu benar bagi orang lain. perbedaan latar belakang, pola didik orang tua dan lingkungan, agama dan budaya mengharuskan kita bijak dalam melihat sesuatu. Apalagi menilai sesuatu. Ini yang paling sulit, menilai sesuatu tanpa memberi cap/stigmatis pada sesuatu dengan adil. sunnguh ketika menerima sebuah kalimat "merasa benar sendiri" saya tertawa dalam hati. Saya sudah lama meninggalkan prinsip "merasa benar sendiri itu" mungkin sudah sejak belasan tahun lalu, sejak saya menyadari hakikat bahwa dunia ini penuh dengan berbagai kebenaran2x yang kadang tak pernah terpikirkan oleh kita. Menyadari bahwa hidup penuh dengan berbagai intrik dan kepentingan, kepalsuan, kelicikan, pengkhianatan, adalah realita yang sering kita temukan di sekitar kita. Awalnya, mungkin kita ternganga, tetapi kemudian terjaga dari tidur panjang itu, bahwa inilah kehidupan. Allah menciptakan pasangan dari setiap hal di dunia ini. kejujuran, kecerdasan, kesetiaan, ikhlas tanpa balas jasa ada dalam hati sanubari tiap insan, bahkan dalam hati siapapun.
Saya yakin dengan dilandasi cinta dan pengorbanan kita mampu melalui setiap detik perjuangan dalam hidup ini dengan memilih mana yang membuat kita merasa nyaman. dan semakin jernih kita memandang setiap persoalan, semakin dewasa kita ditempa kehidupan.


Renungan panjang
di Ledeng, Bandung27 Februari 20015

Rabu, 18 Februari 2015

Tugas Statistik with en. Nurhudaya



Berikut  data nilai Matematika Kelas V SDN. 12 Sungai Lareh Kota Padang

A.     DATA
85
95
80
65
80
80
50
70
90
45
60
70
60
40
65
80
60
75
80
80

70
65
90
80
90
90

75
70
75
75
85
90

60
70
90
90
80
75

75
85
65
80
70
70

80
65
60
75
70
65


1.      Renta ng
Rentang = data tertinggi-data terendah
=95-40
=55
2.      Panjang
BK= 1+3,3 Log n
BK= 1+3,3 log 50=6,6. Dibulatkan jadi 7
3.      Banyak Kelas
Interval=55/7=7,9. Dibualtkan jadi 8.
4.      Frekuensi dapat dihitung dari tabel di atas;
Hasilnya:
 Nilai
Frekuensi
40
1
45
1
50
1
60
5
65
6
70
8
75
7
85
3
80
10
90
7
95
1

5.      Tabel Distribusi Frekuensi dan Frekuensi Kumulatif
rank
Interval Kelas
frekuensi
Fk
%
% fk
I
91-97
1
50
2
100
II
84-90
10
49
20
98
III
77-83
10
39
20
78
IV
70-76
15
29
30
58
V
63-69
6
14
12
28
VI
56-62
5
8
10
16
VII
49-55
1
3
2
6
VIII
42-48
1
2
2
4
IX
35-41
1
1
2
2

a.       Batas Nyata.
Batas nyata atas rank IX= ½ (41+42)=41,5 sekaligus merupakan batas nyata bawah rank VIII
Batas nyata atas rank VIII= ½(48+49)=48,5..dst.

b.      Titik Tengah (mid Point) = ½ (titik batas atas+titik batas bawah
Mid Point rank IIX = ½ (41+35)= 43
Selanjutnya Mid Point rank VIII = ½ (42-48) = 45, dst.
 1.Histogram


 2.Polygon

 















3.Ogif







4. bentuk lain; frekuensi
 





Apa yang Salah dengan Sistem Pendidikan Kita?

Pertanyaan ini selalu hadir dari waktu ke waktu. Dari satu rezim ke rezim yang lain. Dari satu kurikulum kepada kurikulum yang baru. Pertany...