Sejak era pra kemerdekaan Indonesia, Minangkabau sudah menjadi
pusat pendidikan di Sumatra. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya beberapa
pusat institusi pendidikan di Ranah Minang seperti Universitas Andalas,
satu-satunya universitas tertua di luar Pulau Jawa, Diniyyah Putri Padang
Panjang yang tak hanya diminati oleh para santri dari Indonesia, tapi juga dari
Malaysia, Singapura, Brunai, dan Thailand. Sumatra Thawalib yang menjadi
pelopor kebangkitan kebangsaan, Ruang INS di Kayu Tanam dengan perspektif
kurikulumnya yang independen dan siap guna dan kampus-kampus baik negeri maupun
swasta serta pesantren-pesantren baik tradisional maupun modern yang tersebar
di seluruh Ranah Minang. Institusi-institusi pendidikan tersebut masih kokoh berdiri
bahkan sebagiannya berkembang dengan pesat hingga saat ini.
Ada yang berbeda dari sistem pendidikan “lama” di Ranah Minang
tersebut dibandingkan dengan sistem yang ada saat ini. Dahulu selain bersekolah
secara formal di Sekolah Rakyat dan Pesantren, orang tua kita juga bersekolah
secara tidak formal di Surau dan Lapau.
Di Surau, selain belajar mengaji para pemuda Minangkabau juga ditunjukajari
ilmu silat (bela diri), seni musik, pasambahan adat (pidato adat), seni
berdebat, dan teater tradisional seperti Tupai
Janjang, Simarantang, ataupun Randai. Sekolah informal ini membangun
karakter pemuda-pemudi Minangkabau menjadi generasi yang percaya diri, fasih dengan
ilmu agama, dan cerdas namun tetap santun.
Foto
1. Siswa beristirahat sebelum menampilkan Randai sambil bemain gadget (sumber foto: Erison J. Kambari/Instagram)
Di masa modern seperti ini, membangun kembali sistem pendidikan
informal seperti dulu tidaklah mudah. Di lingkungan penulis bertugas mengajar
contohnya, anak-anak usia pendidikan dasar (SD dan SMP) lebih banyak
menghabiskan waktunya di Warnet untuk bermain games online dan surfing.
Di usia dimana fondasi kehidupan pembentukan karakter diri seharusnya dibentuk
mereka malah membuang waktu untuk permainan yang melenakan, rentan terpapar
konten pornografi, premanisme, dan bahkan ada yang menghisap lem. Sementara surau
saat ini hanya menjadi tempat belajar membaca Alquran, Didikan Subuh, dan
kegiatan Pesantren Kilat di bulan Ramadhan saja. Kegiatan-kegiatan positif yang
tadi penulis curahkan di atas mulai berangsur berkurang bahkan perlahan menghilang, kalaupun ada hanya
bertahan di beberapa tempat tertentu saja di luar dari institusi surau seperti kelompok
Randai para pemuda, sasaran Silat, ekstra kurikuler di sekolah menengah dll.
Berangkat dari keprihatinan itulah penulis mengangkat revitalisasi kembali
membangun karakter “pemuda tangguh” tersebut dengan menciptakan Gelanggang
Randai di sekolah-sekolah, terutama di pendidikan dasar (SD dan SMP) sebagai usia
periode emas pembentukan karakter generasi penerus di kota Padang.
Randai Selayang Pandang.
Mengapa memilih Randai? Ide ini penulis dapatkan semasa
melanjutkan studi di Bandung. Di kota ini banyak gelanggang kesenian yang
dipadukan dengan pusat literasi (perputakaan mini) dimana seniman yang melatih
mengadakan pertunjukan di pusat kota dengan peralatan sederhana (sebagian
properti hanya terbuat dari bambu) namun dapat dikemas dengan penampilan
panggung yang memukau. Bandung yang tengah bertransformasi dari kota besar
menjadi metropolitan tanpa ragu-ragu memadukan kearifan lokal khas Sunda dengan
pendidikan, dunia pariwisata, dan semangat keberagaman. Seperti CCL di Ledeng
yang melibatkan siswa sekolah menengah dan sekolah dasar dalam kegiatan drama
tradisional mereka. Selain CCL juga ada Wajiwa di Buah Batu yang diasuh seorang
dosen di ISBI Bandung yang lebih ke olah jiwa dan raga kanak-kanak. Hal ini
mengingatkan penulis pada teater tradisional yang kita miliki namun belum
tergarap secara optimal; teater tradisional Randai.
Randai memiliki hampir semua filsafat luhur dan unsur seni tradisional
Minangkabau. Secara etimologis Randai berasal dari bahasa Arab yaitu kata ra’yan yang berarti penglihatan,
pengamatan dan pemandangan dan da’i
yang berarti penyeru, juru dakwah. Randai pada masa lalu bukan sebagai
pertunjukan namun sebagai permainan anak nagari yang digunakan sebagai media
penyampaian ajaran agama Islam berisi pengajian, baik tauhid (keimanan) maupun
syariat (hukum Islam), Almarbawy dalam (Rustiyanti, 2010) sedangkan menurut A. A. Navis (1984) Randai merupakan kesenian
yang menggunakan medium ganda: tarian, nyanyian, sekaligus akting dan dendang.Ahli Randai dari University
of Hawai’i yang menjadikan Randai sebagai dissertasinya, Kirstin Pauka
(2003) secara gamblang menjelaskan Randai sebagai sebuah teater asli Minangkabau yang
berbasiskan teknik bunga-bunga silat. Selain bela diri, Randai juga menampilkan
tarian, akting, nyanyian, musik instrumen, dan pukulan unik (tapuak) yang
dimainkan dalam bentuk lingkaran. Fungsi Randai menurut Pauka merupakan media
hiburan dan pendidikan di nagari-nagari di Minangkabau.
Menurut bentuknya Randai merupakan bentuk kesenian Minangkabau
yang dilakukan oleh penari dengan menggunakan ceritera. Ciri-ciri Randai,
yaitu:
1.
para penari bergerak dalam lingkaran besar
(12-15 orang),
2.
sumber gerak penari galombang, bersumber dari pencak silat,
3.
karakter tokoh diungkapkan melalui akting dan
dialog
4.
ceritera disampaikan dalam adegan demi adegan
5.
dendang sebagai pembatas antara suatu adegan
ke adegan berikutnya., Rustiyanti, (2010).
Pementasan Randai selain diperlombakan
dalam festival, biasanya dilakukan saat musim panen berakhir, pengangkatan
gelar datuk (penghulu), pesta perkawinan, hari raya Idul Fitri, atau hari
peringatan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus. (Pauka, 2003).
Randai
sebagai Media Apresiasi Drama dan Pembentukan Karakter Percaya Diri Siswa
Pendidikan Dasar
Perkembangan siswa SD dan kelas awal
di SMP menurut Piaget berada pada tahap perkembangan operasional konkret, yang
membutuhkan penalaran logika menggantikan penalaran intuitif, yang hanya (bisa dilakukan) dalam situasi konkret.
Situasi konkret tersebut dapat difasilitasi dengan bermain drama. Drama yang
cocok digunakan untuk siswa adalah drama anak sederhana yang dekat dengan anak,
salah satunya adalah drama/teater
tradisional. Menurut Latrell (1999), Randai merupakan salah satu bentuk seni
teater terbaik di Sumatra Barat, Indonesia, yang memadukan tarian penuh
semangat, seni bela diri, dialog, dan musik. Penggunaan drama dengan medium
ganda tersebut diharapkan dapat memotivasi anak agar lebih percaya diri dan
meningkatkan kemampuan apresiasi sastranya. Sesuai dengan pendapat Russel-Bowie
(2013) yang menyatakan bahwa, para pendidik hendaknya mengenalkan pembelajaran
yang mengasah pengalaman siswa untuk membawa perubahan sikap siswa ke arah yang
positif, penuh percaya diri, dan mengerti dengan drama.
Secara umum permainan Randai klasik
menggunakan teknis penyajian sebagai berikut:
a.
Sebelum pertunjukan dimulai, terlebih dulu
dimainkan alat-alat musik tradisional berupa talempong, sarunai, bansi, dan gandang.
Fungsi bunyi-bunyian ini sebagai pemanggil bahwa pementasan akan dimulai. Untuk
aplikasi di SD jika tak ada instrumen eksternal bisa diganti dengan rekaman
suara musik.
b.
Dengan aba-aba dari Janang (ketua Randai),
seluruh pemain masuk ke dalam arena membentuk dua baris berbanjar, dengan
langkah silat membentuk lingkaran galombang.
Pemain membalas dengan “hep-ta” atau “ais-ta” berulang empat kali secara
bersama.
c.
Tukang goreh
memberi kode “hep-ta”, maka seluruh anak Randai duduk berjongkok. Saat itu
pembawa gurindam mulai menyanyikan dendang sebagai persembahan kepada penonton.
(Dendang Dayang Daini).
d.
Tukang goreh
memberi kode untuk bergerak dalam lingkaran galombang pertama.
e.
Setelah lingkaran terbentuk dari dua baris
berbanjar tadi, dilanjutkan dengan kata-kata persembahan kepada penonton oleh Janang.
f.
Tukang goreh
memberi tanda dengan suara kode “hep-ta” mengajak para pemain bergerak dengan
gaya silat. Dilanjutkan dengan gerak galombang berikutnya diiringi dendang
Simarantang untuk adegan pertama.
g.
Dendang
Simarantang dinyanyikan beberapa kali, tergantung dari
panjangnya gerak galombang, lalu dilanjutkan dengan tampilnya tokoh lakon
cerita yang berakting di dalam arena lingkaran galombang. Begitu selanjutnya sampai babak terakhir. Dalam
pertunjukan Randai diselingi dengan tarian perintang, seperti tari piring,
pencak silat, indang, ataupun saluang
dendang. Selingan ini dimaksudkan sebagai icebreaker
agar penonton tidak bosan. (Rustiyanti, 2010)
Foto.2.
Siswa SD sedang latihan Randai di halaman sekolah
(dokumen
pribadi)
Tata cara bermain drama menggunakan Randai yang digunakan diadaptasi
dari langkah-langkah teknik pembelajaran
drama menurut Rahmanto (2005) dan Sumiyadi (2013), yang membaginya ke dalam dua
tahap, yaitu sebagai berikut:
1)
Tahap Persiapan
terdiri atas: a) pelacakan pendahuluan,
yaitu: (1)memilih naskah randai, (2)memilih sutradara/pelatih. b) penentuan
sikap praktis, yaitu: (1)mempelajari naskah randai, (2) menganalisis
(mengadaptasi) naskah randai, (3) penyajian randai dalam bentuk video/foto.
2)
Tahap Pelatihan
terdiri atas : a) mencari bentuk,
yaitu: (1) diskusi awal, (2) pengembangan
randai, (3) diskusi lanjutan., b) pemantapan/latihan umum/praktik percobaan,
yaitu: (1) latihan gerakan randai, (2) latihan mengucapkan dialog, (3) akting
c) pagelaran/pementasan.
Naskah yang digunakan dalam Randai
hendaknya merupakan naskah yang layak baca untuk siswa usia Pendidikan Dasar.
Foto 3.
Siswa menampilkan Randai di aula Balai Pelestarian Nilai Budaya
(BNPB) Kota
Padang (dokumen pribadi)
Gelanggang Randai di Sekolah
Adanya sasaran Randai di sekolah dalam bentuk gelanggang khusus
yang dipadukan dengan pusat baca (semacam perpustakaan mini) diharapkan bisa
menjadi oase bagi siswa Pendidikan
Dasar (SD dan SMP). Dari segi kemampuan berbahasa dan sastra, siswa dididik menjadi
lebih cinta membaca (melek literasi) melalui membaca naskah Randai yang
dimainkan, latithan vokal dan ekspresi, mampu mendiskusikan unsur instrinsik
sastra (mengapresiasi karya sastra Minangkabau lengkap dengan filsafat Minang
yang luhur), dll. Dari segi fisik dengan bermain Randai siswa dapat melatih
kemampuan motoriknya dengan belajar dasar-dasar gerakan silat, mengenal
disiplin latihan, dan sopan santun dalam berbicara di depan publik.
Foto 4. Teater Terbuka/Gelanggang Randai impian
Di Kota Padang sendiri sudah ada sanggar seni dan sasaran Randai,
namun yang bersinergi dengan sekolah atau didirikan sebagai bagian dari pusat
edukasi di sekolah belum banyak. Adanya hubungan saling edukasi antara sekolah
dengan budayawan terutama seniman silat dan Randai yang difasilitasi oleh
pemerintah kota diharapkan dapat mewujudkan impian ini. Randai yang dijadikan
sebagai bagian dari kurikulum di University
of Hawai’i dan Akademi Seni dan Warisan Malaysia seharusnya juga dapat
diadaptasi sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di Kota Padang. Sepulang
sekolah, siswa-siswi SD dan SMP dapat belajar memainkan Randai agar siswa tak hanya disibukkan oleh aktivitas
di luar sekolah yang berbau negatif sekaligus mendidiknya untuk lebih menghargai
budayanya sendiri.
Pauh, 17 April 2017